ilustrasi.(MI)
LEMBAGA kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto mencerminkan kembalinya otoritarianisme ala Orde Baru. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya memutihkan sejarah kelam masa lalu dan memperkuat militerisme dalam ruang politik Indonesia.
Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq menyatakan, kebijakan itu tidak bisa dilepaskan dari fenomena meningkatnya kontrol militer dan pembungkaman suara kritis di ruang publik. Ia menilai, situasi demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran serius akibat pengaruh kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada kelompok elit.
"Demokrasi kita telah mengalami erosi yang besar dengan kembalinya militerisme. Ruang publik dan oposisi kian melemah dengan terbentuknya aliansi ormas agama dan oligarki," ujarnya dalam keterangan pers, dikutip pada Senin (27/10).
Naziful menegaskan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi. Ia menilai figur yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan demokrasi, bukan yang justru menjadi simbol pengekangan kebebasan.
"Situasi saat ini butuh figur yang punya makna demokrasi dan Reformasi yang bersejarah. Soeharto bukan nominasi yang tepat. Secara historis, ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan," tuturnya.
PVRI juga menyoroti dominasi unsur militer dan elite agama dalam daftar nominasi pahlawan nasional tahun ini. Dari total 40 nama, sebanyak 10 orang berlatar belakang militer dan 11 lainnya berasal dari kalangan elite agama. Sementara 19 nama sisanya berasal dari berbagai latar belakang profesi lainnya.
"Nominasi nama-nama pahlawan di satu sisi tidak lepas dari politik pengkultusan individu, namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi," kata Naziful.
Menururnya, hal teesebut menjadi sinyal kian kuatnya simbolisme politik yang mengarah pada restorasi otoritarianisme. PVRI menlai, demokrasi Indonesia kini berada di titik kritis.
Ruang publik menyempit, oposisi melemah, dan integritas pemilu semakin dipertanyakan. Dalam kondisi seperti ini, langkah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto hanya akan mempercepat kemunduran demokrasi.
"Ancaman terhadap demokrasi Indonesia semakin nyata dengan meluasnya peranan militer di pemerintahan sipil, dan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto hanya mempertegas arah kemunduran itu," kata Naziful.
Sementara itu, Peneliti PVRI Alva Maldini menambahkan, masuknya nama-nama seperti Marsinah dan Gus Dur dalam daftar nominasi sejatinya bisa menjadi representasi dari nilai-nilai demokrasi dan perjuangan rakyat. Namun, ketika dua nama itu disandingkan dengan Soeharto, maknanya justru menjadi paradoks.
"Ketika dua nama ini bersanding dengan nama Soeharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik," ujarnya. (Mir/P-3)

3 hours ago
1
















































