Gaya Konsumsi Remaja di Era Daring Jadi Salah Satu Pemicu Peningkatan Food Waste

8 hours ago 2
Gaya Konsumsi Remaja di Era Daring Jadi Salah Satu Pemicu Peningkatan Food Waste DR. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si.(Dok Unwar)

PERILAKU konsumsi di kalangan remaja, terutama yang dipengaruhi oleh komunikasi digital, menjadi salah satu faktor signifikan pemicu peningkatan food waste atau limbah makanan. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memperburuk isu ketahanan pangan.

Data tersebut diungkapkan akademisi Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi (FPST), Universitas Warmadewa (Unwar), DR. I Nengah Muliarta, S.Si., M.Si. saat tampil menjadi narasumber webinar dengan topik “Menguatkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pertanian Berkelanjutan dan Konsep Zero Waste” di Denpasar pada Minggu (27/7/2025) yang diselenggarakan oleh Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, FPST-Unwar. 

Food waste didefinisikan sebagai makanan siap konsumsi yang memenuhi gizi seimbang namun terbuang sia-sia atau makanan yang seharusnya dapat dimakan manusia tetapi dibuang, hilang, rusak, atau dikonsumsi hewan, termasuk bagian yang tidak dimakan. Berbeda dengan food lost yang terjadi di tahap awal rantai pasok karena masalah infrastruktur, hama, atau cuaca ekstrem, food waste terjadi pada tahap ritel dan konsumsi akhir, seringkali akibat keputusan konsumen atau toko seperti pembelian berlebih atau sisa makanan dari piring.

“Secara global, diperkirakan 33% dari seluruh makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang di berbagai tahapan rantai pasok, mulai dari pertanian hingga rumah tangga” kata Muliarta.

Muliarta menyebutkan khususnya pada remaja, promosi makanan yang agresif di media sosial dan tren gaya hidup instan mendorong pembelian makanan berlebihan. Kurangnya pengetahuan tentang dampak pemborosan makanan serta pengaruh teman sebaya juga turut memengaruhi perilaku konsumsi mereka.

Dampak dari food waste sangat besar. Jika ditinjau dari sisi sosial dan ekonomi, food waste menyebabkan hilangnya nutrisi penting yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan gizi jutaan orang. Selain itu, limbah pangan memperparah ketimpangan pangan, menciptakan kesenjangan antara kelompok yang berkecukupan dan yang kelaparan.

Muliarta mengungkapkan dari segi lingkungan, limbah makanan yang kaya bahan organik akan terurai dalam kondisi tanpa oksigen, menghasilkan gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Gas metana memiliki potensi pemanasan global 25-28 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida. Secara keseluruhan, food waste berkontribusi sekitar 3,3 gigaton CO2 per tahun terhadap emisi gas rumah kaca, serta menyebabkan pemborosan air, lahan, dan sumber daya alam lainnya.

“Masalah food waste ini bukan hanya tentang produksi, melainkan juga distribusi. Meskipun pasokan makanan di dunia cukup untuk semua orang, akses dan distribusinya masih belum merata. Padahal pangan yang terbuang dapat dialihkan untuk mengurangi kelaparan melalui redistribusi pangan layak konsumsi, misalnya melalui bank makanan” papar pria kelahiran Klungkung tersebut.

Muliarta menjelaskan dalam sebuah studi kasus di Kawasan Saridewi, Denpasar tahun 2021menunjukkan, frekuensi makan penduduk sangat mempengaruhi jumlah limbah makanan yang dihasilkan keluarga. Potensi sampah di Saridewi mencapai 486,425 kg per hari atau 7,85 kg per rumah tangga per hari, dengan jumlah sisa makanan per orang mencapai 0,14 kg per hari. 

Volume limbah makanan yang sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di kecamatan-kecamatan Kota Denpasar berkisar antara 115 kilogram hingga 184,67 kilogram per hari. Faktor sosio-demografi, praktik belanja, persiapan, kebiasaan memasak dan konsumsi, serta sikap terhadap sisa makanan secara langsung memengaruhi penurunan atau peningkatan sisa makanan.

Ia menambahkan, guna mengatasi masalah food waste, berbagai pemanfaatan dapat dilakukan, seperti pengomposan untuk pupuk organik , biokonversi menggunakan serangga seperti maggot untuk pakan ternak dan sumber protein, serta inovasi daur ulang untuk menciptakan produk bernilai tinggi seperti energi terbarukan. Konsep ekonomi sirkular juga didorong untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan kembali sumber daya.

Sementara Prof. Ir. irawati Chaniago, RurSc., PhD  dari Universitas Andalas memprediksikan pada tahun 2050 dunia membutuhkan 70% kalori lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar orang. Tantanganya bagaimana menjaga produktivitas dan kelestarian lingkungan dengan cara memperbaiki cara produksi dan konsumsi pangan. Dimana diperlukan peningkatan 32 produktivitas pangan. 

“Tantangan lainnya mengurangi limbah pangan yang mencapai 1,3 milyar ton/tahun, dengan nilai kerugian ekonomis $1 triliyun” kata Irawati.

Menurut Irawati, produksi pangan dalam upaya menuju ketahanan pangan juga menghadapi tantangan terkain konversi lahan. Mengingat konversi lahan ini juga berkontribusi terhadap pemanasan global. 

Sementara Dekan Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa, Prof. Luh Suriati menegaskan, di era pertanian berkelanjutan tidak hanya berfokus pada peningkatan hasil, tetapi juga pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Konsep Zero Waste menjadi semakin penting dalam konteks pertanian. 

“Dengan meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya, kita dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Melalui inovasi dan kolaborasi, kita bisa mencapai tujuan ketahanan pangan yang berkelanjutan” ungkap Suriati

Terkait pelaksanaan webinar, ia mengungkapkan webinar diharapkan memberikan manfaat bagi peningkatan Pengetahuan, Kesadaran Lingkungan, Inovasi dan Kreativitas, Networking dan Penerapan Ilmu. Webinar ini memberikan mahasiswa pemahaman tentang bagaimana teori yang dipelajari di kelas dapat diterapkan dalam praktik nyata, khususnya dalam konteks ketahanan pangan. 

Dengan memahami tantangan yang dihadapi dalam ketahanan pangan, mahasiswa akan lebih termotivasi untuk berkontribusi dalam solusi dan inovasi yang dapat diimplementasikan di masyarakat. Pengetahuan tentang pertanian berkelanjutan dan Zero Waste adalah nilai tambah yang dapat membantu mahasiswa dalam memasuki dunia kerja, terutama di sektor pertanian dan lingkungan.

Ia menambahkan bahwa webinar ini memungkinkan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam diskusi yang lebih mendalam tentang isu-isu yang relevan, meningkatkan kemampuan berpikir analitis dan kritis mereka. Dengan mengikuti webinar ini, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang aktif dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui praktik pertanian yang berkelanjutan. 

Ia berharap webinar ini dapat menjadi wadah bagi semua untuk bertukar pikiran, berbagi pengetahuan, dan menginspirasi satu sama lain. “Mari kita bersama-sama menemukan solusi yang dapat diterapkan dalam praktik pertanian kita sehari-hari,” ungkapnya. (H-2)

Read Entire Article
Global Food