Warga membuat produk kreatif dari tenun sembalun.(Dok. FEB UI)
DI tengah perkembangan industri fesyen modern, produk kain tradisional disebut menghadapi tantangan yang tak mudah. Produk berbasis budaya lokal, seperti contohnya tenun, sering kali tertinggal karena minim inovasi desain dan lemahnya strategi pemasaran. Padahal, di balik setiap karya tradisional, terdapat potensi ekonomi yang besar jika dikelola dengan pendekatan kreatif.
Salah satu produk kain tradisional yang tengah berjuang untuk terus eksis dan berkembang dari segi penjualan adalah tenun sembalun. Tenun sembalun adalah kain tradisional yang bukan hanya menjadi bagian dari produk kreatif, tetapi juga identitas budaya warga Lombok, Nusa Tenggara Timur (NTB).
"Setiap motifnya menyimpan simbol kehidupan masyarakat, alam, dan nilai spiritual. Namun, dalam konteks pasar modern, penjualan kain tradisional menghadapi tantangan. Konsumen cenderung mencari produk yang praktis dan fungsional, sementara penenun umumnya masih berfokus pada produksi kain lembaran," kata tim pengabdian masyarakat 2025 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Agung Nugroho, dalam keterangan resminya, Jumat, (24/10).
Salah satu desa penghasil tenun sembalun adalah Desa Lebak Lauk di Sembalun, Lombok Timur. Warga Desa Lebak Lauk sejak lama dikenal sebagai sentra penghasil tenun khas Lombok. Di sana, melalui program Pengabdian Masyarakat 2025 Skema Gerakan Sosial bertajuk Penguatan Desain Motif dan Branding Produk Tenun Lebak Lauk, Sembalun, Lombok, Agung mengatakan, pihaknya memperkenalkan model bisnis baru, yakni inovasi produk turunan berbasis tenun lokal.
Pendekatannya sederhana namun strategis, mengubah kain hasil tenun menjadi produk fesyen sehari-hari seperti topi dan tas, yang memiliki potensi pasar lebih luas, termasuk wisatawan dan pasar daring. Program ini berfokus pada pengembangan produk turunan tenun tradisional, sebagai upaya mendorong transformasi budaya menjadi kekuatan ekonomi.
“Inovasi tidak berarti meninggalkan tradisi. Justru dari warisan lokal inilah kita bisa menciptakan produk kreatif yang berdaya saing,” ujar Agung.
Pentingnya Branding dan Storytelling
Selain pengembangan produk, kegiatan tersebut juga menekankan pentingnya branding dan storytelling budaya. Penenun tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga belajar menarasikan filosofi di balik setiap motif, tentang alam Sembalun, tentang kerja keras, dan tentang nilai-nilai perempuan penenun yang menjadi penjaga warisan budaya. Pendekatan ini memperkuat value proposition produk tenun: bukan sekadar aksesori, tetapi cerita budaya yang dapat dikenakan.
Dari perspektif ekonomi kreatif, kegiatan ini menunjukkan bagaimana pendekatan akademik dapat diterjemahkan ke dalam aksi nyata yang berkelanjutan. Melalui penghitungan Social Return on Investment (SROI), mereka menilai sejauh mana kegiatan ini meningkatkan pendapatan, kapasitas kreatif, dan rasa percaya diri masyarakat Lebak Lauk.
Selain itu, program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 8, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya menumbuhkan nilai ekonomi, tetapi juga memastikan pelestarian identitas budaya di tengah arus globalisasi.
Kegiatan di Lebak Lauk adalah bukti bahwa universitas dapat berperan sebagai penghubung antara pengetahuan akademik dan realitas sosial-ekonomi masyarakat. Melalui sinergi antara dosen, mahasiswa, dan masyarakat lokal, lahir inovasi yang tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya warisan budaya.“Tenun adalah bahasa visual masyarakat kita,. Jika kita bisa mengolahnya dengan cara yang relevan, maka budaya tidak akan menjadi kenangan masa lalu, melainkan modal masa depan. Dari Sembalun, kolaborasi ini menjadi cermin bagaimana FEB UI menenun tradisi dan inovasi menjadi satu benang merah: pemberdayaan," tutupnya. (H-3)

6 hours ago
4
















































