
Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding merespons rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan meresmikan pembentukan Komite Reformasi Polri sekaligus melantik sembilan anggotanya pada pekan depan.
Menurutnya, langkah ini menjadi momentum penting untuk memperkuat pengawasan eksternal terhadap institusi kepolisian, yang selama ini menghadapi kritik publik terkait transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Sarifuddin menilai adanya tokoh-tokoh besar seperti Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, dan Jimly Asshiddiqie yang disebut bakal mengisi Komite Reformasi Polri itu akan memberikan bobot akademis dan independensi.
Namun, ia menekankan reformasi Polri hanya akan tercapai jika komite diberi kewenangan nyata untuk mengevaluasi kebijakan, budaya organisasi dan praktik operasional Polri, bukan sekadar menjadi simbol formalitas.
“Reformasi Polri harus lebih dari sekadar dokumen atau laporan administratif. Publik menuntut transparansi kinerja, akuntabilitas, dan pengawasan independen yang mampu mendorong perubahan nyata dalam budaya organisasi kepolisian,” kata Sarifudin melalui keterangan tertulis, Selasa (7/10).
Sarifudin menyoroti potensi dualisme pengawasan akibat pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri internal oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia menilai jangan sampai komite dan tim tersebut saling tumpang tindih.
“Jangan sampai ada dualisme dalam proses pengawasan reformasi Polri yang dapat menimbulkan masalah baru,” sebutnya.
Di sisi lain, Sarifudin menilai Transformasi Reformasi Polri internal yang beranggotakan perwira aktif Polri itu berisiko menjadi ‘tameng’ yang meredam kritik publik dan meminimalkan reformasi struktural maupun kultural.
"Untuk itu, evaluasi internal harus dikombinasikan dengan kontrol eksternal yang kuat, agar reformasi tidak berhenti pada level administratif," tutur Politisi Fraksi PAN ini.
Lebih lanjut, Sarifudin memberikan beberapa catatan prioritas yang harus diperhatikan, baik oleh tim internal Polri maupun komite bentukan Presiden. Pertama, transparansi dan akuntabilitas internal. Ia menegaskan bahwa publik harus memiliki akses yang jelas terhadap data kinerja, pelanggaran anggota, dan mekanisme penindakan.
"Kedua, demiliterisasi dan depolitisasi. Polri perlu menyingkirkan praktik militeristik dan keterlibatan politik praktis yang masih tersisa sejak era ABRI," ungkapnya.
Sarifudin juga menyinggung penguatan mekanisme pengawasan eksternal. Menurutnya, Kompolnas, lembaga independen, dan judicial scrutiny (mekanisme pengawasan oleh pengadilan terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana) pada KUHAP baru harus memiliki otoritas nyata atas kewenangan penyidikan.
"Kemudian perubahan budaya organisasi. Reformasi harus menyasar pola pendidikan, etika pelayanan publik, serta sikap aparat terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan," ungkapnya.
Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu juga mengingatkan soal target dari Tim Reformasi Polri. Menurutnya, keberhasilan reformasi Polri akan diukur dari dampak nyata terhadap perlindungan hak warga dan kepastian hukum, bukan sekadar stempel politik.
"Komite Reformasi Polri harus menjadi instrumen kontrol yang efektif, menutup celah sejarah reformasi 1998 yang belum tuntas. Dan tentunya harus bisa memastikan Polri mampu menjalankan fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara profesional," pungkasnya.(P-1)