APBN tak Lagi Jamin Utang Proyek Kereta Cepat Cerminkan Disiplin Fiskal Kuat

3 days ago 10
APBN tak Lagi Jamin Utang Proyek Kereta Cepat Cerminkan Disiplin Fiskal Kuat Ilustrasi Woosh(Antara Foto)

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak akan menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh menunjukkan disiplin fiskal yang kuat. 

Sikap ini, kata dia, menjadi penegasan bahwa tanggung jawab keuangan negara harus dipisahkan dari risiko korporasi, sekalipun proyek dijalankan oleh badan usaha milik negara (BUMN).

“Dengan demikian, kebijakan ini menjadi sinyal penting bahwa negara tidak lagi menjadi penjamin terakhir bagi proyek bisnis yang gagal mengelola risiko secara profesional,” ujar Rizal kepada Media Indonesia, Minggu (12/10).

Rizal menjelaskan, efektivitas prinsip pemisahan tanggung jawab negara ini bergantung pada struktur keuangan proyek dan komitmen para pemegang saham. Dengan 75% pendanaan berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) dan 25% dari ekuitas konsorsium, maka tanggung jawab pembayaran utang seharusnya berada di pihak korporasi.

"Korporasi ini khususnya PT KCIC dan Danantara selaku holding BUMN," ungkapnya. 

Rizal menekankan, pemerintah perlu memastikan tidak ada jaminan terselubung atau tekanan politik yang berpotensi mengalihkan beban proyek ke APBN. 

"Karena itu, transparansi kontrak dan kemampuan proyek menghasilkan arus kas menjadi faktor kunci agar janji tanpa APBN benar-benar realistis," tegas ekonom Indef itu. 

Proyek KCJB, yang menjadi kereta cepat pertama di Asia Tenggara menelan biaya sekitar US$7,2 miliar atau setara Rp119,3 triliun (kurs Rp16.570 per dolar AS). Dari jumlah tersebut, US$1,2 miliar atau Rp19,9 triliun merupakan pembengkakan biaya (cost overrun).

Proyek KCJB digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), perusahaan patungan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd. PSBI memiliki 60% saham, sedangkan Beijing Yawan memegang 40%, dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemimpin konsorsium PSBI.

Menurutnya, sumber pembayaran utang semestinya berasal dari pendapatan operasional, tambahan modal pemegang saham, restrukturisasi pinjaman, atau refinancing yang lebih efisien. Dalam hal ini, Danantara dianggap memiliki peran strategis untuk menjaga likuiditas proyek tanpa menggunakan dana publik. 

Intervensi fiskal, kata Rizal, hanya boleh dilakukan sebagai opsi terakhir (ultima ratio), misalnya melalui penyertaan modal negara (PMN) terbatas dan transparan jika stabilitas proyek benar-benar terancam.

"Ini menjadi momentum penting untuk memperkuat prinsip bahwa uang publik hanya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk menambal risiko bisnis," pungkasnya.

Menkeu Purbaya menegaskan pengelolaan utang proyek Whoosh seharusnya menjadi tanggung jawab Danantara, selaku induk dari PT KCIC. Menurutnya, Danantara telah memiliki manajemen dan sumber pendapatan sendiri, dengan rata-rata dividen yang mencapai lebih dari Rp80 triliun per tahun. 

"Kalau KCIC di bawah Danantara, harusnya mereka bisa mengelola utang proyek itu dari situ, jangan kita lagi," ucapnya di Bogor, Jumat (10/10).

Kata Purbaya, jika beban utang tersebut kembali ditanggung pemerintah, maka seluruh risikonya, termasuk pengelolaan dividen, juga akan kembali ke negara.  (H-4)

Read Entire Article
Global Food