Transisi Energi Berkeadilan Harus Cerminkan Realitas Indonesia

1 week ago 10
Transisi Energi Berkeadilan Harus Cerminkan Realitas Indonesia (MI/ATALYA PUSPA)

Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan laporan terbaru bertajuk Investment Needs of Indonesia’s Just Energy Transition: A Framework, yang menawarkan metodologi pembiayaan khusus untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia. Laporan ini menyajikan kerangka komprehensif dalam mengukur kebutuhan investasi untuk memastikan proses transisi berlangsung adil, setara, dan berkelanjutan, sekaligus mendukung target energi terbarukan nasional.

Pemerintah melalui PT PLN menargetkan porsi energi terbarukan mencapai 61 persen dari total tambahan pembangkit baru dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, angka tertinggi dalam sejarah RUPTL. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia menuju Net Zero Emission pada 2060. 

Namun, pencapaian target tersebut menuntut bukan hanya investasi besar, tetapi juga mekanisme yang menjamin keadilan bagi masyarakat, pekerja, dan sektor yang terdampak peralihan dari energi fosil.

“Transisi berkeadilan tidak bisa sekadar diimpor dari negara maju,” ujar Barbara Buchner, Global Managing Director CPI.

“Indonesia harus menempuh jalannya sendiri dengan mempertimbangkan visi masyarakat, potensi energi terbarukan yang besar, dan kebijakan yang menempatkan kekuatan ekonomi lokal sebagai inti dari transisi itu," imbuh dia. 

Kerangka CPI dibangun di atas empat pilar keadilan energi: pengakuan (recognitional justice), pemulihan (restorative justice), distribusi (distributive justice), dan prosedural (procedural justice). 

Konsep ini disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi Indonesia, termasuk risiko dari penghentian dini PLTU batu bara dan peluang ekonomi dari pengembangan energi bersih.
Dalam pilar pemulihan, CPI menyoroti pentingnya keseimbangan antara langkah preventif dan transformatif. 

Upaya preventif mencakup program peningkatan keterampilan ulang bagi pekerja batu bara agar dapat beralih ke pekerjaan ramah lingkungan. 

Sementara langkah transformatif mencakup pembentukan pusat layanan kerja yang memprioritaskan tenaga lokal, koperasi energi terbarukan, serta diversifikasi ekonomi daerah.

“Investasi pada dua langkah ini akan membuat transisi energi lebih adil, efisien, dan menguntungkan bagi masyarakat terdampak,” tulis laporan CPI.

Manfaat Nyata di Daerah

CPI juga mengembangkan metode perhitungan manfaat ekonomi dari transisi energi, seperti peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan masyarakat, serta kebutuhan investasinya. Metode ini telah diuji coba di dua wilayah, yakni Cirebon dan Maluku.

Di Cirebon, CPI menilai peluang ekonomi yang muncul dari rencana penghentian dini PLTU Cirebon. Studi ini tidak hanya menghitung dampak sosial terhadap pekerja, tetapi juga potensi ekonomi baru dari peralihan ke energi bersih.

Sementara di Maluku, analisis CPI menunjukkan pemanfaatan tenaga surya mampu meningkatkan sektor perikanan dengan mengganti sistem penyimpanan dingin berbahan bakar diesel menjadi listrik tenaga surya yang lebih stabil. 

Perubahan ini berpotensi meningkatkan hasil tangkapan harian nelayan dari 50 ton menjadi 214 ton, serta menaikkan pendapatan nelayan dari Rp43 juta menjadi Rp368 juta per tahun.

“Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana pembiayaan transisi energi berkeadilan dapat memberikan manfaat nyata, baik secara ekonomi maupun lingkungan,” ujar Tiza Mafira, Direktur CPI Indonesia. 

“Kasus Maluku memperlihatkan potensi energi terbarukan untuk memperkuat ekonomi lokal, sementara Cirebon menunjukkan pentingnya desain pembiayaan yang terstruktur agar penghentian PLTU bisa memberi manfaat bersih," pungkas dia. 

Dengan pendekatan ini, CPI menilai transisi energi Indonesia berpeluang menjadi model yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. (H-1)

Read Entire Article
Global Food