Tirani Penegakan Hukum Penanganan Dugaan Korupsi Importasi Gula

5 days ago 9
Update Informasi News Petang Viral Non Stop
Tirani Penegakan Hukum Penanganan Dugaan Korupsi Importasi Gula (MI/Seno)

KASUS dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas terdakwa Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode Agustus 2015-Juli 2016, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) memunculkan banyak kontroversi. Sidang yang dimulai pada 6 Maret 2025 sudah digelar sebanyak enam kali sampai persidangan tanggal 14 April 2025.

Pada persidangan keenam, suasana kebatinan kurang menguntungkan bagi Tom Lembong karena kasus yang menjerat salah seorang hakim anggota yang menyidangkan perkaranya. Hakim anggota yang berhalangan tetap tersebut terpaksa diganti karena ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus dugaan suap terkait dengan penanganan perkara korupsi ekspor crude palm oil.

Sampai saat ini, alat bukti yang dijadikan dasar dakwaan jaksa berupa hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dugaan korupsi importasi gula belum kunjung diserahkan kepada penasihat hukum, terdakwa, dan majelis hakim. Padahal, Hasil Audit PKKN BPKP atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 sd 2016 Nomor PE.03/R/S-51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 menjadi kunci pembuktian terjadinya peristiwa pidana korupsi tersebut.

Persepsi publik telah terjadi dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan kasus itu sulit ditepis, dari proses penyidikan, penetapan tersangka, penahanan, dan penuntutan. Kasus yang terjadi pada sembilan tahun yang silam itu sejatinya tidak dapat sepenuhnya dikategorikan kejahatan dalam jabatan (ambtsdelicten) mengingat sampai saat ini Kejagung mengakui Tom Lembong tidak terbukti menerima segala bentuk aliran dana dari dugaan kerugian keuangan negara tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mengubah pidana korupsi dari delik formil menjadi delik materiil. Konsekuensi putusan MK tersebut ialah pembuktian delik kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti berdasarkan hasil audit PKKN.

Jaksa dalam Surat Dakwaan No Reg Perkara: PDS-06/M.1.10/Ft.1/02/2025 mendakwa Tom Lembong dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Dakwaan itu mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara sebagai unsur pokok pidana korupsi dengan audit PKKN sebagai pembuktiannya. Padahal, hasil audit PKKN baru diterbitkan BPKP berselang 84 hari setelah Tom Lembong ditahan.

Kerugian keuangan negara dapat dibedakan antara kerugian keuangan negara yang bersifat faktual dan bersifat analitis. Kerugian keuangan negara yang bersifat faktual merupakan kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti dari fakta dan kejadiannya, antara lain berupa kekurangan atau kehilangan uang, barang, dan surat berharga. Belanja barang dengan menggunakan kuitansi fiktif dan pembayaran melebihi fisik barang atau barang yang diterima dengan kualitas yang tidak sesuai merupakan bentuk kerugian keuangan yang bersifat faktual.

Bentuk kerugian keuangan negara yang bersifat faktual untuk perkara importasi gula dapat berupa importir mengimpor gula kristal putih (GKP), tapi pembayaran bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) dimanipulasi sebagai impor gula kristal mentah (GKM) atau kuantum GKM yang diimpor lebih besar daripada kuantum GKM untuk perhitungan BM dan PDRI. Selain itu, pembayaran BM dan PDRI atas impor GKP mengguna tarif BM dan PDRI atas impor GKM dapat terjadi akibat manipulasi bentuk kemasan GKP sebagai GKM.

Sementara itu, kerugian keuangan negara dalam surat dakwaan tersebut lebih bersifat analitis, dalam artian menggunakan asumsi dan potensi untuk menentukan adanya kerugian keuangan negara. Jaksa dan auditor BPKP memaksakan standar dan kriteria yang harus diimpor ialah GKP sehingga ketika yang diimpor ialah GKM, penghitungan kerugian keuangan negara diasumsikan sebagai selisih BM dan PDRI antara GKP dengan GKM.

Fakta yang terjadi sebaliknya, pada 2015, 2016, dan 2017, GKP yang diimpor hanya sebanyak 84.675 ton jika dibandingkan dengan impor GKM utuk diolah menjadi GKP sebanyak 2.154.325 ton sehingga tidak beralasan menggunakan selisih BM dan PDRI antara GKP dan GKM sebagai kerugian keuangan negara. Audit PKKN yang dihasilkan dari analitis, asumsi, dan potensi tersebut yang tidak mencerminkan kerugian keuangan nyata dan pasti (actual loss) bertentangan dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut.

KONTROVERSI PENANGANAN HUKUM SEBELUM PERSIDANGAN TIPIKOR

Penanganan hukum kasus importasi gula diawali dengan proses penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 tanggal 3 Oktober 2023 tentang Penyidikan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Importasi Gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2023. Dalam pelaksanaannya, penyidik hanya membatasi penyidikan dugaan peristiwa pidana kebijakan penerbitan persetujuan impor (PI) yang dilakukan oleh Tom Lembong dari PI 04.IP-04.15.0042 tanggal 12 Oktober 2015 sampai dengan PI 04.PI-69.16.0052 tanggal 14 Juni 2016.

enanganan perkara importasi gula penerbitan Sprindik Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 menetapkan tempus delicti kasus tersebut untuk kurun waktu 9 tahun dari 2015 sampai dengan 2023. Sementara itu, dalam pelaksanaannya, penyidik hanya membatasi tempus delicti dalam kurun waktu 9 bulan saja, dari Oktober 2015 sampai dengan Juni 2016. Padahal, dasar hukum yang digunakan penyidik antara lain Permendag Nomor 117 /M-DAG/PER/ 12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula berlaku sampai 2020, yang digunakan dengan cara yang sama oleh menteri berikutnya.

Pelaksanaan penyidikan dan audit PKKN terkesan telah menarget Tom Lembong tecermin dari sebanyak 74 PI pada 2015 yang disidik hanya 1 PI, dan dari sebanyak 103 PI pada 2016 yang disidik hanya 20 PI. Publik mempertanyakan kenapa Kejagung melakukan tebang pilih untuk locus delicti dan tempus delicti yang sama pada pada 2015 dan 2016 tersebut.

Kejagung memberi klarifikasi penyidikan dibatasi untuk kurun waktu 9 bulan dalam masa jabatan Ton Lembong karena pengaduan masyarakat atas pengelolaan importasi gula hanya ditujukan terhadap Tom Lembong semata. Argumentasi itu bisa dibantah karena importasi gula dalam periode Tom Lembong justru sudah diterbitkan laporan audit importasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kurun waktu tahun 2015 sampai semester I tahun 2017. Tanpa menunggu pengaduan masyarakat, Kejagung dapat mengetahui bahwa BPK tidak menyimpulkan adanya perbuatan korupsi yang dilakukan Tom Lembong.

Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dan penahanannya dari awal terkesan terlalu dipaksakan mengingat secara formal alat bukti berupa audit PKKN atau audit indikasi kerugian keuangan begara belum dimiliki penyidik. Pengenaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dalam dakwaan menuntut unsur kerugian keuangan negara sudah nyata dan pasti. Padahal, untuk kasus lain yang sudah terbukti kerugian keuangan negaranya, tidak serta-merta merupakan peristiwa korupsi apabila unsur perbuatan melawan hukumnya tidak terpenuhi.

Pada 2016, sesuai dengan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi, BPK melakukan pemeriksaan investigatif atas pengadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras. BPK menemukan adanya kerugian negara sebesar Rp191,33 miliar dalam pembelian lahan tersebut karena lebih mahal dari seharusnya. Kendati pengadaan lahan yang terjadi pada era Basuki Tjahaja Purnama Gubernur DKI saat itu telah merugikan keuangan negara, menurut Alexander Marwata, salah seorang pimpinan KPK kala itu, KPK belum menemukan adanya niat jahat atau mens rea. Walaupun ada pengembalian kerugian keuangan negara, kasus tersebut tidak sampai menersangkakan Ahok dan pejabat DKI.

Sebaliknya, pada kasus importasi gula ini, walaupun belum ada audit indikasi kerugian keuangan negara dan atau audit PKKN, telah mengantarkan Tom Lembong mendekam di balik jeruji besi. Kejagung untuk pertama kali menahan seorang mantan menteri dalam dugaan peristiwa pidana korupsi atas kebijakannya tanpa memerlukan pembuktian adanya aliran dana. Ironisnya, selain belum bisa membuktikan kerugian keuangan negara, pada saat penahanannya juga tidak jelas mens rea dan actus reus serta kausalitas kerugian keuangan negara dengan perbuatan yang dilakukannya.

Tragedi penegakan hukum berlanjut dengan penyitaan uang yang dilakukan Kejagung sebesar Rp.565,34 miliar kendati Kejagung menyatakan sebagai pengembalian kerugian keuangan negara oleh 9 terdakwa importir tidak serta-merta menjadi bukti pengakuan terdakwa terjadinya kerugian keuangan negara.

Penyitaan ini merupakan tindakan represif yang bertentangan dengan pasal 29 UU Tipikor yang mana penyidik, penuntut umum, atau hakim seyogianya hanya sebatas meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi bukan menyitanya. Kontroversi muncul ketika Kejagung mem-framing jumlah sitaan tersebut sebagai pembuktian keuntungan perusahaan yang otomatis menjadi kerugian keuangan negara.

Publik mempertanyakan, kenapa Kejagung yang diduga tanpa putusan pengadilan berhasil meminta 9 importir untuk menyerahkan uang sebesar Rp565,34 miliar melebihi kerugian negara yang didakwakan Kejagung sebesar Rp515,41 miliar. Praktik seperti ini tidak terjadi pada kasus megakorupsi PT Timah yang mana Kejagung hanya melakukan penyitaan sebesar Rp137,7 miliar jauh lebih rendah dari jumlah kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

Kejagung kemungkinan menyadari tindakan gegabah melakukan penyitaan tersebut sebelum memastikan uang tersebut berasal dari kerugian keuangan negara. Faktanya, penyitaan uang tunai tersebut belum dicantumkan dan diakui sebagai alat bukti dalam surat dakwaan jaksa karena harus dibuktikan dipersidangan.

Kepentingan penyitaan sebagai kelanjutan penahanan 9 orang tersangka dari pihak importir dijadikan dasar pelimpahan berkas perkara Tom Lembong ke Pengadilan Tipikor setelah menjalani masa tahanan selama 127 hari melampaui batas maksimal penahanan sesuai Pasal 24 dan Pasal 25 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Padahal KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk menghirup udara bebas sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.

JALAN SESAT PENUNTUTAN TOM LEMBONG

Penersangkaan dan penahanan Tom Lembong merupakan bentuk tirani penegakan hukum oleh insitusi negara terhadap warganya. Abuse of authority, bahwa pemegang otoritas penegak hukum telah sempurna melakukan kesewenang-wenangan dalam praktik penegakan hukum. Ayn Rand (1905-1982), filsuf Amerika Serikat, mengatakan secara potensial hanya penguasa yang mampu melanggar hak asasi manusia dan menelanjangi manusia dengan dasar hukum.

Memasuki agenda persidangan memperlihatkan tirani penegakan hukum semakin berlanjut. Pemeriksaan bukti diawali dari pembuktian adanya perbuatan melawan hukum dengan menghadirkan saksi-saksi yang telah diperiksa penyidik sebelumnya. Padahal, unsur pokok kerugian keuangan negara menjadi penentu adanya peristiwa pidana korupsi yang seharusnya diuji kebenarannya terlebih dahulu.

Jaksa seyogianya memberi kesempatan dan waktu yang cukup kepada terdakwa melakukan klarifikasi dan sanggahan atas hasil audit PKKN untuk memastikan kebenaran informasi tersebut, baik bentuk maupun jumlah kerugiannya dengan tidak mengulur-ulur waktu penyerahannya.

Menurut Pasal 51 KUHAP, sejatinya hak tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengertinya mengenai delik hukum yang disangkakan padanya pada waktu pemeriksaan dimulai, termasuk kerugian keuangan negara yang disangka sebagai perbuatannya.

Kekeliruan jaksa dalam memahami KUHAP ualah menyatakan tidak ada kewajiban jaksa menyerahkan hasil audit PKKN bukan merupakan turunan surat dakwaan. Jaksa keliru menafsirkan Pasal 143 ayat (4) KUHAP, yakni turunan surat pelimpahan perkara tidak termasuk hasil audit PKKN BPKP, padahal dalam surat dakwaan jaksa setebal 91 halaman, sebanyak 48 halaman halaman atau lebih 50% mengutip dari hasil audit PKKN BPKP. Dari jumlah tersebut, sebanyak 11 halaman berupa tabel yang bersumber hasil audit PKKN itu sendiri dan sebanyak dua halaman mencantumkan nomor, tanggal, dan nama hasil audit PKKN BPKP.

Penyerahan hasil audit PKKN bersamaan dengan menghadirkan ahli dari auditor BPKP merupakan tindakan menghalangi proses pembuktian kebenaran hasil audit PKKN itu sendiri. Hasil audit PKKN tidak perlu dijelaskan dengan 'omon-omon', tetapi hasil audit itu menjelaskan kerugian keuangan negara secara utuh sebagai bukti surat bukan bukti keterangan ahli.

Kehadiran ahli auditor BPKP yang melakukan audit PKKN tersebut di persidangan hanya diperlukan untuk menjawab bantahan dan klarifikasi yang disampaikan, baik terdakwa, penasihat hukum, maupun majelis hakim. Kesaksian auditor BPKP di persidangan sangat penting untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penasihat hukum dan majelis hakim, serta terdakwa sendiri terkait dengan hasil audit PKKN. Untuk itu, agar penasihat hukum dan majelis hakim dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu mempelajari terlebih dahulu laporan hasil audit tersebut.

Tindakan jaksa dapat digolongkan menghalangi-halangi terdakwa dalam menjalankan hak asasinya memperoleh keadilan. Hakim ketua menegaskan hasil audit bisa diberikan lebih awal sebelum ahli dari BPKP dihadirkan ke persidangan agar punya waktu yang cukup untuk mempelajari pada saat sidang dengan agenda ahli dari BPKP. Menurut hakim ketua, apabila tidak diserahkan, berarti terjadi pelanggaran hak terdakwa.

Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kalimat bijak tersebut menggambarkan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam menangani perkara pidana korupsi agar tidak sampai salah dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang sebenarnya tidak bersalah.

Asas in dubio pro reo pertama kali dikemukakan oleh Egidio Bossi (1487-1546), seorang ahli hukum dari Milan, yakni prinsip hukum yang menyatakan bahwa terdakwa tidak boleh dihukum jika ada keraguan mengenai kesalahannya. Mejelis hakim dapat saja menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana dalam surat dakwaannya yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau hasil audit PKKN tidak terbukti dan tidak benar.

Read Entire Article
Global Food