Visa Pelajar AS: Peluang Emas yang Kini Berisiko Jadi Tiket Pulang Paksa

2 weeks ago 15
Situs Info News 24 Jam Akurat Non Stop
 Peluang Emas yang Kini Berisiko Jadi Tiket Pulang Paksa Visa pelajar memang menjadi gerbang emas menuju pendidikan tinggi di AS. Namun, kebijakan politik Trump saat ini membuat ribuan pelajar internasional berada di ujung tanduk.(Media Sosial X)

BAGI ratusan ribu pelajar setiap tahunnya, visa pelajar AS merupakan tiket emas untuk meraih mimpi menempuh pendidikan atau riset di Amerika Serikat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, visa ini juga berubah menjadi tiket satu arah kembali ke negara asal.

Apalagi sejak pemerintahan Donald Trump gencar mencabut visa dan mendorong akademisi asing keluar dari negeri Paman Sam, baik secara sukarela maupun lewat penahanan.

Cara Kerja Visa Pelajar AS

Sistem visa di Amerika Serikat memang kompleks. Untuk pelajar asing, terdapat tiga jenis visa utama:

  • F-1 Visa: Untuk pelajar yang bersekolah di institusi akademik seperti SMA atau perguruan tinggi.
  • M-1 Visa: Untuk pelajar program vokasi.
  • J-1 Visa: Untuk peserta program pertukaran pelajar yang juga mencakup aspek budaya, termasuk profesor, peneliti, dan dokter.

Institusi yang ingin menerima pelajar internasional wajib mendapat sertifikasi dari ICE (Immigration and Customs Enforcement) melalui program SEVP (Student and Exchange Visitor Program). Proses ini memungkinkan pemerintah AS memantau pelajar asing secara real-time lewat sistem SEVIS, termasuk informasi alamat dan kemajuan akademik mereka.

Namun, situasi berubah drastis saat administrasi Trump mengancam akan mencabut sertifikasi SEVP dari universitas seperti Harvard jika tidak menyerahkan data disipliner mahasiswa internasional. Jika dicabut, institusi tidak bisa lagi menerima mahasiswa dengan visa F-1, dan mahasiswa yang sudah terdaftar terpaksa harus pindah ke kampus lain.

Alasan Visa Bisa Dicabut

Pencabutan visa pelajar dapat terjadi karena berbagai alasan: pelanggaran hukum, informasi palsu saat pendaftaran, atau bahkan hanya karena dicurigai membahayakan kebijakan luar negeri AS. Dalam banyak kasus, visa bisa dicabut tanpa tuduhan resmi. Pemerintah hanya perlu menerima "informasi negatif" dari lembaga intelijen atau penegak hukum.

Contoh nyata terjadi pada Rümeysa Öztürk, kandidat doktoral di Tufts University. Ia ditangkap agen federal setelah visanya dicabut. Pemerintah menuduhnya mendukung Hamas, tetapi pengacaranya menyebut Öztürk hanya menyuarakan dukungan terhadap hak-hak warga Palestina.

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Sejumlah pelajar asing, termasuk dua aktivis pro-Palestina di Columbia University, Mahmoud Khalil dan Mohsen Madawi, juga menghadapi deportasi meskipun berstatus pemegang green card.

Pelajar Merasa Dipantau dan Tidak Aman

Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa mereka terus memantau pemegang visa. Dalam postingan di media sosial, Departemen Luar Negeri menyebutkan visa bisa dicabut kapan saja jika pemegangnya melanggar hukum AS atau aturan imigrasi.

Bahkan jika visa telah kedaluwarsa, selama status pelajar tetap aktif, hukum AS memperbolehkan mereka tetap tinggal. Namun kini, banyak pelajar menerima email dari Departemen Keamanan Dalam Negeri yang meminta mereka angkat kaki dalam waktu tujuh hari untuk menghindari penangkapan.

“Jangan mencoba bertahan di AS. Pemerintah federal akan menemukan Anda,” bunyi salah satu email, menurut pengacara imigrasi Nicole Micheroni.

Universitas pun sering tidak mendapat pemberitahuan resmi. Beberapa baru mengetahui status mahasiswa mereka dicabut ketika melakukan pemeriksaan rutin di database SEVIS. Ini menunjukkan perubahan besar dari praktik sebelumnya, ketika hanya pejabat sekolah yang berwenang mengajukan pencabutan visa.

Perubahan Sikap dan Dampak Jangka Panjang

Pada awal kampanyenya di tahun 2015, Donald Trump pernah mengatakan, “Jika warga asing kuliah di universitas kita dan ingin tetap tinggal di AS, mereka tidak seharusnya diusir.” Namun satu dekade kemudian, pemerintahannya telah mencabut lebih dari 1.000 visa akademisi asing.

Data dari Departemen Luar Negeri mencatat bahwa jumlah visa pelajar (terutama F-1) sempat meroket hingga mendekati 1 juta pada tahun 2015. Namun sejak itu, jumlahnya menurun tajam. Pandemi Covid-19 memperparah penurunan, dan hingga 2024, jumlah visa yang disetujui masih belum kembali ke angka tertinggi tersebut.

Laporan dari Institute of International Education mengungkap bahwa banyak universitas mengaitkan penurunan jumlah pelajar asing dengan "iklim sosial-politik" yang tidak ramah di era pemerintahan Trump. (CNN/Z-2)

Read Entire Article
Global Food