Putusan MK Tolak Seluruh Gugatan UU TNI Dinilai Kemunduran Serius Demokrasi

2 hours ago 1
Putusan MK Tolak Seluruh Gugatan UU TNI Dinilai Kemunduran Serius Demokrasi Ilustrasi: Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kanan) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri), membacakan amar putusan(MI/Usman Iskandar)

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh dalil uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai kritik keras dari koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Mereka menilai putusan tersebut merupakan kemunduran serius bagi demokrasi dan konstitusi di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina menjelaskan keputusan MK ini berbahaya karena bisa menjadi pembenaran bagi praktik buruk dalam pembentukan undang-undang.

“Saya pikir ini menjadi preseden yang paling buruk dan ini menjadi akhir daripada Mahkamah Konstitusi. Karena bisa dijadikan praktik-praktik lancung tadi yang sudah dilakukan, praktik tokenisme di mana mengundang sebagian orang lalu kemudian semuanya dianggap tahu, itu akan dibenarkan untuk praktik-praktik pembentukan undang-undang di masa depan,” ujar Gina usai pembacaan putusan di Gedung MK, Rabu (17/9).

Ia bahkan menilai MK berisiko kehilangan muruahnya sebagai pengawal konstitusi dan menjadi institusi yang memundurkan reformasi TNI sebagai mandat reformasi. 

“Ini akan menjadi akhir daripada Mahkamah Konstitusi, karena pasti habis ini Mahkamah Konstitusi akan menjadi keranjang sampah di mana seluruh masyarakat yang tidak puas terhadap pembentukan praktik-praktik undang-undang akan mengadu dan mengajukan permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi,” tukasnya.

Dalih Penolakan MK

Sementara itu, Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menyoroti dalih penolakan MK yang menyebut dokumen legislasi terkait UU TNI dapat diakses publik melalui situs DPR. Menurutnya, fakta di lapangan berbeda.

“Mahkamah Konstitusi menyatakan dokumen legislasi seperti RUU, naskah akademik, hingga daftar inventarisasi masalah itu bisa diakses di website DPR. Padahal sebetulnya, itu baru bisa diakses dua sampai tiga bulan setelah pengundangan. Setidaknya 56 hari pasca disahkan belum bisa diakses sama sekali,” jelas Andrie.

Ia menegaskan bahwa koalisi masyarakat sipil telah meminta dokumen resmi sejak awal untuk mengawal reformasi TNI secara serius, namun hal itu tak pernah didapatkan dari DPR.  

“Sebelumnya itu kami tidak mengetahui dokumen yang beredar, apakah resmi dan valid. Kami sebagai gabungan Koalisi Masyarakat Sipil bukan setahun dua tahun mengawal reformasi TNI. Kami membutuhkan draft dokumen seperti naskah akademik untuk dikaji, apakah sudah sesuai dengan mandat reformasi di tubuh militer,” ucapnya.

Andrie juga menuturkan bahwa pihaknya sudah menempuh jalur konstitusional untuk mendapatkan dokumen resmi, namun permintaan tersebut juga tidak digubris. 

“Kami telah menggunakan cara-cara paling damai, paling konstitusional. Ketika kami belum mendapatkan draft, kami bersurat secara resmi kepada Komisi I DPR untuk membuka akses dokumen tersebut. Tapi yang terjadi, aksi interupsi permohonan dilakukan pada 15 Maret, dokumennya belum ada. Ketika disahkan, dokumennya juga belum ada,” ungkapnya.

Ia menambahkan, publik baru bisa mengakses dokumen tersebut jauh setelah UU TNI disahkan. 

“Bahkan 56 hari setelah disahkan, itu pun baru bisa diakses. Artinya, dokumen-dokumen itu baru diakses oleh publik ketika semuanya sudah final di DPR dan pemerintah,” tegas Andrie.

Kontras juga menilai, sikap MK yang menutup mata atas praktik tersebut menunjukkan kegagalan dalam melindungi prinsip partisipasi publik yang bermakna. 

“Mahkamah Konstitusi gagal melihat secara komprehensif bagaimana tindakan-tindakan lancung dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah, yang kami nilai merupakan pembentukan dengan niat paling jahat karena tidak melibatkan partisipasi publik,” pungkasnya. (Dev/M-3)

Read Entire Article
Global Food