
KOALISI masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh dalil uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) merupakan bentuk kemunduran serius bagi demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Mereka berencana mengajukan uji materiel terhadap sejumlah pasal dalam UU TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa proses pembentukan UU TNI jelas tidak memenuhi prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.
“(Kami) berharap agar Mahkamah Konstitusi menerima seluruh dalil-dalil yang diajukan para pemohon karena secara terang benderang proses pembuatan Undang-Undang TNI jelas tidak memenuhi kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan. Pertama, prosesnya dilakukan secara tertutup, artinya tidak menghormati prinsip-prinsip keterbukaan,” kata Usman usai pembacaan putusan di Gedung MK, Rabu (17/9).
Menurut Usman, dokumen Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI bahkan tidak bisa diakses publik hingga disahkan. Padahal, masyarakat sipil sudah meminta keterbukaan naskah tersebut sejak awal.
“Mahkamah Konstitusi menyebutkan pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil pada tanggal 18. Di dalam pertemuan itu kami meminta naskahnya agar itu diserahkan dan meminta agar itu dimuat di dalam laman DPR RI, tapi hingga disahkan, tidak ada juga,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pembentukan UU harus mengacu pada prinsip meaningful participation atau partisipasi bermakna, sebagaimana pernah ditegaskan dalam putusan MK sebelumnya.
“Proses formil dari pembuatan undang-undang harus sempurna, harus menyediakan semacam kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang cukup, harus menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berkonsultasi dan menyampaikan kritiknya, dan yang ketiga, harus memastikan masyarakat benar-benar setuju bahwa seluruh materinya, seluruh prosesnya telah berjalan sesuai dengan kaidah yang benar,” jelasnya.
Namun, kata Usman, MK dalam pertimbangannya hanya merujuk pada tidak adanya keberatan di rapat paripurna DPR. Ia menilai kondisi tersebut tidak bisa dijadikan tolok ukur karena realitas politik Indonesia saat ini sudah tidak memiliki oposisi yang kuat.
“Siapa pun kalau ditanya tentang kondisi politik Indonesia, pasti akan menjawab sudah tidak ada lagi oposisi. Tidak mungkin ada keberatan dari partai politik, sekalipun PDIP, karena undang-undang itu juga melibatkan pengesahan dari PDIP,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menilai putusan MK hari ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola legislasi di Indonesia.
“Sekali lagi kami merasa hari ini adalah hari yang kelam, langit yang kelam untuk masa depan konstitusi di kemudian hari. Proses pembuatan undang-undang ke depan pasti akan semakin ugal-ugalan,” kata Usman.
Meski kecewa atas ditolaknya uji formil, Koalisi Masyarakat Sipil berencana menempuh langkah hukum berikutnya dengan mengajukan uji materiel terhadap sejumlah pasal dalam UU TNI.
“Untuk selanjutnya kami akan mempertimbangkan langkah uji materiel terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI karena banyak sekali kandungan yang bermasalah. Pasal 3, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 47 itu di antara yang menurut kami pantas untuk diujimaterielkan di dalam langkah hukum konstitusional selanjutnya,” pungkasnya. (Dev/M-3)