
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/2024 mengalami turbulensi konstitusional yang pada prinsipnya menyatakan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden, diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.
MENABRAK KONSTITUSI
Berkaca pada norma dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK di atas menabrak konstitusi. Pertama: Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil, setiap lima tahun sekali. Pemilu sebagaimana dimaksud diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan DPRD.
Dengan demikian, sepanjang pemilu DPRD tidak dilaksanakan lima tahun sekali berdasarkan asas luber dan jurdil maka itu akan menabrak konstiusi sehingga dapat mengakibatkan turbulensi konstitusional. Rekayasa konstitusional harus dimaknai tidak melampaui lima tahun sekali terkait dengan pemilihan anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD, sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014, di mana pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan 3 bulan setelah pemilihan umum untuk DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, penggabungan pilkada dan DPRD dalam satu paket juga telah mengoreksi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Makna dari pasal tersebut tidak secara tegas menyatakan pilkada harus dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan DPRD berdasarkan Pasal 22E ayat (2) harus dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan amar putusan MK, maka MK menafsir bahwa pilkada harus dipilih oleh rakyat, padahal pasal itu hanya mengisyaratkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan secara demokratis, yang maknanya adalah alternatif, bisa langsung oleh rakyat, bisa oleh DPRD bahkan bisa dilaksanakan dengan model lain sebagaimana di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berdasarkan UU Keistimewaan DIY. Sri Sultan Hamengku Buwono, yang juga menjabat sebagai Sultan Yogyakarta, secara otomatis menjadi Gubernur DIY, dan Sri Paduka Paku Alam menjadi Wakil Gubernur DIY.
Dengan demikian, semangat kekhasan dan kekhususan daerah yang menjadi semangat filosofis konstitusional telah ditabrak oleh MK, bahkan makna demokratis menjadi tafsir monolitik harus dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Ketiga, pemilihan DPRD dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden, menambah turbulensi konstitusional. Karena, tidak mungkin dilakukan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, sebab anggota DPRD ditetapkan dalam sistem official elected (pemilihan) bukan melalui official appointed (penunjukan) yang lazim dalam jabatan administrasi pemerintahan.
Sama halnya dengan kepala daerah, karena ditetapkan melalui official elected, sehingga dikenal penjabat kepala daerah yang ditunjuk dalam jabatan administrasi pemerintahan dalam mengisi kekosongan masa jabatan kepala daerah. Bayangkan jika terjadi penjabat DPRD maka dibutuhkan 2.372 penjabat DPRD provinsi dan 17.510 penjabat DPRD kabupaten/kota jika dibandingkan dengan penjabat kepala daerah provinsi 38 dan 504 penjabat kepala daerah kabupaten/kota jikapun terjadi keseluruhan.
Jika dipaksakan DPRD diperpanjang tanpa pemilihan maka anggota DPRD akan kehilangan legitimasi politiknya karena tanpa dipilih rakyat. Akibatnya, akan menggerus makna kedaulatan rakyat yang salah satunya rakyat berhak menentukan siapa yang akan dipilih untuk mewakilinya di DPRD. Padahal kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya menurut UUD 1945 dan telah tegas dilakukan melalui pemilihan umum, bukan penunjukan dan/atau pengangkatan.
Bahkan lebih ekstrem jika kosong, maka yang terjadi oalah pemerintahan daerah bersifat monolitik dan menabrak Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang sejatinya harus dimaknai bahwa pemerintahan daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD.
Jika anggota DPRD dilakukan dengan model pengangkatan penjabat DPRD dari lembaga pemerintahan, berapa banyak jabatan ASN yang akan ditetapkan sebagai penjabat. Lebih miris jika ini terjadi maka fungsi-fungsi DPRD tidak akan berjalan bahkan akan terjadi conflict of interest dan conflict of the corps.
INKONSISTENSI
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan. Misalnya saja, setelah Pemilu 1971 baru dilaksanakan lagi Pemilu pada 1977 dan Pemilu 1999 yang tidak lima tahun. Berkaca dari hal itu, penegasan Indonesia sebagai negara hukum dalam perubahan UUD 1945 bermakna kondisi hukum harus jelas dan dapat diprediksi, sehingga pasal 22E UUD 1945 menegaskan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun.
Keempat, dengan kecenderungan MK sering berubah pendirian, maka dikhawatirkan tidak ada kepastian hukum. Bisa saja pemilihan presiden dan wakil presiden dipisahkan kembali dengan pemilihan anggota DPR dan DPD, atau bahkan pemilihan anggota DPD dilaksanakan bersama dengan anggota DPRD dan kepala daerah, karena DPD merupakan perwakilan dari masyarakat daerah.
Kelima, kedudukan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Itu bukan berarti MK melakukan penafsiran yang mengakibatkan perubahan terhadap konstitusi, meskipun dikenal perubahan konstitusi bisa terjadi melalui judicial interpretation, tidak melulu melalui amendemen formal. Bahkan perubahan konstitusi bisa terjadi melalui revolusi, kudeta, dan some primary force. Namun, hal tersebut dilakukan jika negara dalam keadaan kacau atau kebuntuan konstitusional. Jika dalam keadaan nomal, sebaiknya perubahan terhadap makna konstitusi dilakukan melalui amendemen.
Keenam, konstitusi tidak mengatur hal-hal yang penting, tetapi konstitusi mengatur hal-hal yang fundamental, apalagi hal yang teknis. Maka, MK sebagai guardian of constitution sebaiknya menguji hal-hal yang fundamental, karena jika MK menguji hal-hal yang teknis terkait dengan penjadwalan pemilu maka MK dapat dipastikan menjadi kamar ketiga lembaga pembentuk undang-undang (positive legislator), padahal kedudukan MK hanya sebagai negative legislator. Yang dimaksud hal-hal fundamental adalah bagaimana hak-hak konstitusional rakyat tidak terabaikan dalam pemilihan, money politics, dan political buying yang merusak muruah kebangsaan dan sebagainya.
Ketujuh, dengan meletakkan skema pemilihan umum pada amar putusan, maka dipastikan pemilu menjadi tidak dinamis, bahkan DPR dan presiden dipastikan telah kehilangan wewenang dalam kedudukannya sebagai positive legislator, melainkan hanya sebagai lembaga persetujuan dari putusan MK (lembaga stempel). Itu sesungguhnya terjadi sebelum perubahan UUD 1945.