
MALAM sudah larut ketika kru tanker MT Gunung Geulis milik Pertamina melihat sinar dari Mercusuar Cimiring di perairan Cilacap, Jawa Tengah. Itu pertanda bahwa MT Gunung Geulis tinggal beberapa mil lagi menuju Area 70 Cilacap pada Jumat (19/9) lalu.
Selama 2,5 hari, tanker itu membawa crude sebanyak 100 ribu barel dari Senipah, sebelah utara Balikpapan, Kalimantan Timur. Senipah merupakan Terminal Minyak dan Kondensat yang beroperasi sejak 1976 dan menjadi pengumpul crude dari ladang-ladang minyak di Kalimantan Timur.
“Tengah malam, kami sampai di Cilacap. Karena MT Gunung Geulis memiliki kapasitas angkut hingga 600 ribu barel, maka harus berada di tengah perairan antara Cilacap dengan Pulau Nusakambangan, tidak dapat merapat hingga dermaga,” kata Nakhoda MT Gunung Geulis, Muhammad Isrofik, saat ditemui Media Indonesia pekan ketiga September lalu.
Isrofik memiliki pengalaman panjang sebagai bagian dari pejuang energi yang mengantarkan crude ke kilang-kilang, salah satunya ke Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. “Perjalanan ke Cilacap itu membutuhkan waktu 2,5 hari. Dari Senipah, Kalimantan, kami melewati Selat Makassar, kemudian ke arah selatan melewati Selat Lombok. Dari Selat Lombok, kami putar haluan ke arah barat melewati Samudra Hindia menuju Cilacap,” ungkapnya.
Perjalanan membawa minyak mentah bukanlah perkara mudah. Tanker harus melewati keganasan Samudra Hindia yang terkenal memiliki ombak dan alun yang tinggi. Yang spesial dari Samudra Hindia adalah alun. Alun berbeda dengan ombak atau gelombang. Alun adalah gelombang air yang memanjang dan bergulung-gulung. Karena sudah laut lepas di sebelah selatan Jawa, maka alun bisa memiliki ketinggian 6–7 meter.
Mulai bulan September, biasanya alun dan ombak cukup tinggi serta kerap disertai angin kencang dan hujan. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar tanker yang memuat minyak mentah itu tetap aman sampai tujuan. “Tugas utama saya sebagai kapten kapal adalah bertanggung jawab untuk seluruh kapal, kru, dan muatannya, serta lingkungan. Mulai dari safety, smooth operation, hingga pencegahan pencemaran di laut. Karena tugas itulah kami berkonsentrasi penuh untuk memastikan jalannya kapal, apalagi jika menghadapi medan yang berat seperti Samudra Hindia dengan alun yang tinggi,” ungkapnya.
Di sepanjang Samudra Hindia, biasanya kapal agak menepi di sepanjang Pulau Jawa, tidak terlalu ke tengah. Ia tahu betul bahwa kapal pasti akan mengalami rolling atau gerakan ke sisi kiri atau kanan dengan sudut kemiringan hingga 5–10 derajat saat membawa muatan. Juga terjadi pitching atau gerakan naik-turun kapal.
“Itu terjadi karena swell (alun, red.) di sepanjang Samudra Hindia. Berbeda dengan lautan yang ada di utara Pulau Jawa yang relatif terlindungi pulau-pulau besar seperti Kalimantan dan Sulawesi,” kata dia.
Bagi Isrofik, perjalanan mengantarkan minyak mentah untuk sampai ke tujuan dengan aman menjadi hal yang paling utama. Ombak, gelombang, atau alun yang tinggi, bahkan cuaca buruk yang menerjang, harus betul-betul dikalkulasi. “Jadi, setiap mau berangkat, kami harus berhitung dengan jarak, kondisi cuaca, dan kecepatan kapal. Misalnya saja, kami harus tahu prediksi cuaca buruk di titik mana, sehingga nanti kecepatan kapal perlu disesuaikan. Pada saat kondisi cuaca normal, kecepatan bisa 13–14 knot. Tetapi jika ada gangguan cuaca, diturunkan kecepatannya menjadi 11 knot. Semuanya harus dikalkulasi dari awal,” ungkap Isrofik yang telah menjadi pelaut selama 12 tahun tersebut.
Sebagai konsekuensi, tak setiap saat ia bisa bertemu dengan keluarganya karena harus berada di laut sekitar lima bulan dan libur sebulan. Tidak mengherankan, jika dari empat anaknya, hanya satu yang benar-benar bisa dia temani secara fisik saat lahir. “Tiga anak saya yang lain tidak bisa saya tunggui karena waktu itu tengah berada di laut,” kata dia.
Isrofik menceritakan, sewaktu memiliki anak pertama pada 2019, ia tengah berada di lautan sekitar Uni Emirat Arab. Kemudian baru pada anak kedua, ia benar-benar bisa menunggui persalinan istrinya di rumah sakit di Tegal, Jawa Tengah. Lalu, saat anak ketiga lahir, dirinya berada di laut sekitar Ambon, dan anak keempat lahir ketika ia berada di perairan Palembang, Sumatera Selatan.
Sebagai pelaut, Isrofik memang sudah paham konsekuensinya. Usai dari Cilacap, MT Gunung Geulis berangkat menuju Kepulauan Natuna, lagi-lagi untuk mengangkut crude. Ia sudah mulai menghitung waktu yang akan ditempuh dan tentu saja tantangan gelombang laut, angin, serta cuaca yang berbeda. Lagi-lagi, ia memastikan tak dapat mendampingi istrinya yang tengah hamil tua.
“Istri saya juga tengah hamil tua dan diperkirakan akan melahirkan pada bulan Oktober. Pastinya, saya berada di laut. Karena sehabis dari Cilacap, saya harus berangkat ke Natuna. Sebagai nakhoda, tentu saja saya akan melaksanakan tugas ini. Belum saatnya pulang. Meski saya tidak hadir secara fisik, tetapi doa senantiasa saya panjatkan untuk istri yang akan melahirkan,” ungkapnya.
Inovasi Produk Energi
Kisah para nakhoda seperti Isrofik yang membawa kapal-kapal tanker di lautan luas tak hanya tentang gelombang tinggi dan angin kencang. Di balik kemudi, mereka memikul tanggung jawab besar untuk menjaga pasokan energi negeri tetap mengalir.
Selama berbulan-bulan mereka terpisah dari keluarga, namun semangat tak pernah surut. Mereka adalah para pejuang energi yang memastikan suplai crude oil tiba tepat waktu untuk diolah di Kilang Pertamina RU IV Cilacap.
Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina RU IV Cilacap, Cecep Supriyatna, bersama Officer Communication, Relations & Compliance, Sunaryo Adi Putra, menjelaskan bahwa crude yang masuk ke RU IV Cilacap berasal dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun impor dari Timur Tengah.
“Total yang diolah setiap harinya mencapai 348 ribu barel yang menjadi beragam produk. Produksi Kilang Cilacap ini utamanya ditujukan untuk memenuhi 60 persen kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di wilayah Pulau Jawa serta 34 persen kebutuhan BBM di Indonesia. Produknya mulai dari BBM, LPG, hingga non-BBM,” jelasnya.
Menurut Cecep, crude domestik akan masuk ke Kilang II. Prosesnya menghasilkan solar, Pertamax, BBM beroktan tinggi lainnya, hingga avtur. Bahkan, Kilang Cilacap menjadi tulang punggung dalam memastikan swasembada bahan bakar pesawat di Indonesia.
Pada saat yang sama, kilang ini juga memperkuat komitmen menuju Net Zero Emission (NZE) 2060. Salah satu inovasi yang kini menjadi kebanggaan adalah Pertamina Sustainable Aviation Fuel (Pertamina SAF).
Apa sebenarnya Pertamina SAF itu? “Pertamina SAF merupakan campuran antara crude dengan bahan baku Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah. Produksinya dilakukan dengan teknologi co-processing menggunakan Katalis Merah Putih buatan anak bangsa. Hasilnya, Pertamina SAF telah memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091,” ujarnya.
Pertamina SAF tidak hadir begitu saja. Inovasi ini melewati perjalanan panjang sejak riset dimulai pada tahun 2017. Arah pengembangannya makin jelas pada Desember 2020, diikuti uji coba produksi pada Januari–Februari 2021.
Setelah uji terbang sukses di tahun yang sama, Pertamina menyiapkan tahap produksi energi hijau di Kilang Cilacap. Memasuki Januari 2022, selain memproduksi green avtur, kilang ini juga mulai menghasilkan green diesel.
Untuk green diesel, bahan baku yang digunakan adalah RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil), yaitu minyak sawit yang telah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan agar hilang warna dan baunya.
Tak berhenti di situ, Pertamina juga melengkapinya dengan sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC). Dengan bahan baku minyak sawit tersebut, kapasitas produksinya mencapai 6.000 barel per hari.
Sementara itu, green avtur merupakan hasil campuran RBDPO dengan kerosin, yang menghasilkan bahan bakar jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar konvensional. Keunggulannya terletak pada kandungan sulfur yang rendah sehingga mampu menekan emisi berbahaya.
Uji coba pun dimulai secara bertahap, pertama pada pesawat CN235-220 FTB milik PT Dirgantara Indonesia, menggunakan campuran minyak inti sawit sebesar 2,4 persen pada 6 Oktober 2021.
Langkah berikutnya dilakukan pada pesawat Boeing 737-800 NG bernomor registrasi PK-GFX milik maskapai Garuda Indonesia, yang mengudara dari Bandara Soekarno-Hatta pada 4 Oktober 2023. Tonggak sejarah pun tercipta pada Rabu (20/8) ketika pesawat Pelita Air menempuh rute penerbangan Jakarta–Bali dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
Dalam pernyataannya, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menegaskan bahwa Pertamina SAF adalah wujud nyata komitmen perusahaan untuk mencapai swasembada energi sekaligus mendukung transisi menuju energi hijau.
“Pertamina SAF merupakan bahan bakar pesawat berkelanjutan yang dihasilkan melalui teknologi co-processing antara kerosin dan minyak jelantah. Pertamina SAF telah sukses diproduksi di Kilang Pertamina RU IV Cilacap dan merupakan pengembangan pertama di Indonesia yang memenuhi standar kualitas internasional DefStan 91-091,” jelasnya.
Pertamina SAF menjadi tonggak awal pengembangan bisnis masa depan—bukan hanya bagi Pertamina, tetapi juga bagi Indonesia. Pertamina kini diakui sebagai Regional Champion SAF, satu-satunya perusahaan di kawasan ASEAN yang mampu membangun ekosistem hulu-hilir untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan.
“Pertamina juga mampu memproduksi SAF berbahan baku UCO dengan Katalis Merah Putih, hasil formulasi Pertamina bersama manufaktur katalis domestik,” tandasnya.
Ekosistem Minyak Jelantah
Inovasi PertaminaSAF membuat emak-emak yang berada di Kelurahan Tegalreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, makin bersemangat untuk mengumpulkan minyak jelantah melalui Bank Sampah Beo Asri. Salah satunya adalah Suwarti, 60, warga setempat yang berprofesi sebagai pedagang gorengan.
“Sebelum ada bank sampah, saya membuang jelantah ke saluran irigasi. Saya tidak berpikir apakah lingkungan tercemar atau tidak. Tetapi ya karena tidak ada harganya, maka saya buang begitu saja,” ungkapnya.
Menurut Suwarti, kini ia rutin menampung jelantah ke dalam jeriken. Dalam sehari, biasanya menghasilkan 0,5 kg jelantah. “Saya menggoreng cukup banyak karena memang jualan gorengan. Saban hari ada sekitar 0,5 kg minyak jelantah yang saya simpan. Rata-rata dalam sebulan kisaran 15 kg jelantah. Kalau harganya Rp5 ribu, maka setiap bulannya saya mendapatkan uang Rp75 ribu. Selain ada uang, saluran irigasi di tempat saya tidak lagi berwarna hitam karena jelantah,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Bank Sampah Beo Asri Sri Widowati mengatakan bank sampah mulai dibentuk tahun 2012 silam dan menjadi binaan Pertamina sejak tahun 2017. Namun demikian, gerakannya masih terbatas, hanya pada pemilahan sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik seperti plastik, botol, galon, seng, dan lainnya dikumpulkan kemudian dijual.
“Setelah 10 tahun, tepatnya di tahun 2022, kami mulai menerima jelantah sampai sekarang. Waktu itu, kami tidak membelinya, hanya menukar 3 liter jelantah dengan satu liter minyak kemasan. Bank sampah kami bekerja sama dengan Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Cilacap. Jadi, kami menampung sementara dari setoran warga, kemudian sebulan sekali nanti tim Perbanusa datang untuk mengambilnya. Mereka telah bekerja sama dengan perusahaan pengumpul jelantah,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, ternyata Pertamina RU IV Cilacap mulai membutuhkan minyak jelantah. “Kami telah diberitahu sejak tahun 2024 lalu, Kilang Cilacap bakal membutuhkan jelantah cukup besar. Mereka akan menggunakan jelantah yang dicampur minyak mentah untuk jadi avtur. Karena itulah, kami terus bersemangat mengumpulkan jelantah karena pasarnya sangat terbuka,” kata dia.
Secara rutin, bank sampah menerima jelantah dari sekitar 50 rumah di Kelurahan Tegalreja. Jumlahnya tidak terlalu banyak, kisaran 175 hingga 200 kg setiap bulannya. “Kami mendapatkan keuntungan dari jelantah yang dikumpulkan untuk membiayai berbagai macam kegiatan kelompok,” ujarnya.
Dengan adanya pengumpulan jelantah, tercipta ekonomi sirkular di tengah masyarakat. Kelompok-kelompok, terutama para perempuan, terus didorong agar bisa ikut serta dalam mengumpulkan jelantah. “Kami terus memotivasi warga, terutama ibu-ibu, untuk mengumpulkan jelantah. Mereka akan mendapatkan uang dan lingkungan bersih karena jelantah tak lagi dibuang,” ungkapnya.
Tak hanya kelompok masyarakat yang bergerak, Pertamina juga menjadi offtaker minyak jelantah. “PertaminaSAF berdampak ganda, yaitu berputarnya ekonomi di masyarakat sekaligus mendorong pengurangan emisi lingkungan di industri penerbangan. Ini akan mendorong ekonomi sirkular karena melibatkan masyarakat luas dalam mata rantai bahan bakunya,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso.
Pertamina, lanjutnya, telah menyediakan 35 titik UCollect Box yang tersebar di berbagai wilayah strategis, mulai dari Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Depok, Bandung, Semarang, Surabaya, Gresik, Bali, hingga Palembang. “Pertamina juga telah membangun kemitraan kolektif untuk mengumpulkan minyak jelantah dari berbagai sektor komersial, seperti hotel, restoran, kafe, serta industri lainnya,” katanya.
Sementara itu, Area Manager Communication, Relations, dan CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah (JBT) Taufiq Kurniawan mengatakan di wilayahnya ada empat titik lokasi pengumpulan jelantah. “Yakni SPBU Akpol, Srondol, dan Kedungmundu, Semarang. Satu titik lagi berada di lokasi Program CSR Pujasera Energi, Semarang. Sejauh ini sudah berjalan dengan baik,” katanya.
Sejak dibuka hingga awal pekan Oktober, volume minyak jelantah yang terkumpul telah mencapai 3.361,93 liter dari 335 warga pengumpul. “Sudah cukup baik karena masyarakat mulai peduli dan mengumpulkan jelantah untuk disetorkan ke empat titik pengumpul. Jumlah transaksi mencapai hampir Rp18,5 juta. Kami berharap ke depannya akan semakin banyak warga atau kelompok masyarakat yang akan mengumpulkan jelantah,” jelas Taufiq.
Menurutnya, dengan jelantah yang dipakai sebagai bahan untuk PertaminaSAF, secara nyata bakal mengurangi pencemaran di darat. Di sisi lain, pemanfaatan jelantah menjadi avtur juga merupakan bahan bakar pesawat yang ramah lingkungan secara berkelanjutan. Bahkan, berpotensi mengurangi 84 persen emisi jika dibandingkan avtur fosil, sehingga mendukung peta jalan transisi energi menuju net zero emission.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra mengatakan salah satu tugas dari Patra Niaga adalah memastikan pendistribusian BBM di Tanah Air serta memastikan penyaluran PertaminaSAF berjalan lancar. “Penerbangan komersial dengan pesawat Pelita Air dan rute Jakarta–Bali ini lepas landas pada Rabu (20/8) lalu dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, menjadi momen bersejarah sekaligus menandai posisi Indonesia dalam inovasi bahan bakar berkelanjutan.”
Energi yang Berkeadilan
Pertamina tidak hanya mengurusi avtur untuk pesawat terbang semata, melainkan juga BBM dan LPG yang didistribusikan untuk masyarakat kebanyakan. Kilang Cilacap, misalnya, yang merupakan kilang terbesar di Indonesia, tidak hanya menyuplai kebutuhan di Jawa saja, melainkan sampai ke wilayah Indonesia Timur.
“Produksi yang dihasilkan di antaranya solar, premium, pertamax, avtur, hingga LPG. Kilang Cilacap menjadi produsen avtur tertinggi di Indonesia sebesar 18,44 juta barel per tahun dan untuk pertama kali dalam sejarah Kilang Cilacap mengekspor avtur sebesar 400 ribu barel pada Juli 2019. Kilang Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) RU IV yang dibangun pada 2011 dan diresmikan pada 2015 menjadi pelopor kilang modern dan ramah lingkungan yang mengolah Low Sulphur Waxy Residue (LSWR) menjadi produk bernilai tinggi. Salah satu produksi RFCC memproduksi LPG yang tiap hari mencapai 1.066 ton,” papar Area Manager Communication, Relations, & CSR Cecep Supriyatna.
Artinya, Pertamina memastikan energi tersedia bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah menggerakkan ekonomi, mulai dari perusahaan besar hingga masyarakat kecil dan warga terpencil.
Secara terpisah, Area Manager Communication, Relations, dan CSR Pertamina Patra Niaga Regional JBT Taufiq Kurniawan mengatakan pihaknya memastikan penyediaan kebutuhan energi di wilayahnya. “Untuk Jawa Bagian Tengah, titik nolnya adalah Terminal BBM Lomanis di Kelurahan Donan, Kecamatan Cilacap Tengah. Dari sini, BBM produksi Kilang Cilacap didistribusikan ke Jateng dan Jabar. Suplai BBM dikirim ke Fuel Terminal (FT) Maos, Rewulu di Yogyakarta, dan Boyolali untuk wilayah Jateng. Sementara di Jawa Barat, suplai menuju Terminal BBM Tasikmalaya dan Bandung. Terminal Bandung kemudian terbagi menjadi Padalarang dan Ujungberung,” katanya.
Distribusi dari Lomanis yang langsung dari Kilang Cilacap kemudian disalurkan melalui pipa-pipa ke wilayah timur dan barat. “Tim dari FT Lomanis melakukan monitoring visual guna memastikan keamanan dan kelancaran pasokan. Ada empat seksi setiap harinya. Yang tidak kalah penting adalah membina warga di sepanjang pipa penyaluran BBM sehingga masyarakat juga ikut serta menjaganya,” ungkapnya.
Taufiq mengatakan, suplai yang tepat sasaran menjadi perhatian serius Pertamina, misalnya untuk kebutuhan masyarakat nelayan dan petani. Ketika pemerintah memiliki program konversi dari BBM ke LPG, maka Pertamina harus memastikan kecukupan kebutuhan petani dan nelayan. “Program konversi yang berada di Jateng dan DIY sejak tahun 2022 hingga 2024 untuk nelayan mencapai 2.579 paket, sedangkan untuk petani sebanyak 14.468 paket. Sehingga total petani dan nelayan yang tidak lagi memakai BBM dan berpindah mengonsumsi LPG 3 kilogram (kg) sebanyak 17.047 petani dan nelayan,” jelasnya.
Dikatakannya, hingga kini masyarakat petani dan nelayan aktif memanfaatkan elpiji untuk menghidupkan mesin perahu atau mesin penyedot air dan penyiraman tanaman. “Dari Januari hingga September, jumlah transaksi yang dilakukan nelayan sebanyak 393 ribu tabung lebih, sedangkan petani 292 ribu tabung lebih. Nelayan memang lebih banyak memakai tabung karena setiap hari membutuhkan untuk melaut,” ujarnya.
Salah seorang nelayan asal Kelurahan Karangtalu, Kecamatan Cilacap Utara, Watiman, 44, mengatakan bagaimana LPG 3 kg telah menjadi dewa penolong kehidupan nelayan kecil seperti dirinya. “Sebelum pakai LPG, saya menggunakan pertalite. Setiap harinya membutuhkan 5 liter, sehingga kebutuhan pembelian pertalite Rp50 ribu ditambah dengan membeli oli Rp30 ribu. Totalnya Rp80 ribu sekali melaut di sekitar Segara Anakan hingga ke Kampung Laut. Tetapi dengan LPG, jauh lebih hemat, hanya Rp40 ribu atau dua tabung. Ada penghematan hingga 50 persen,” kata Watiman.
Menurutnya, dua tabung LPG bisa menjadi bahan bakar selama seharian melaut, dari sore hari pukul 16.00 WIB hingga 08.00 WIB. “Kalau masa-masa hasil tangkapan bagus, saya bisa mendapatkan penghasilan Rp500 ribu hingga Rp600 ribu karena mendapatkan ikan belanak, kakap merah dan putih, udang, dan lainnya.”
Apa yang dirasakan Watiman sebagai nelayan kecil merupakan bagian dari pelayanan Pertamina agar masyarakat bawah tetap dapat mengakses energi sesuai dengan jenis yang dibutuhkan dengan harga terjangkau. (H-2)