Prajurit TNI berbaris di Denpasar, Bali.(Dok. Antara)
SEKRETARIS Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Gina Sabrina memperingatkan potensi bahaya dari penggunaan konsep OMSP (Operasi Militer Selain Perang) jika digunakan sebagai dasar untuk melegalkan keterlibatan militer di ranah-ranah sipil yang seharusnya bukan tugas utama TNI.
“TNI adalah aparat negara yang sah melakukan tindak kekerasan karena mereka punya senjata, oleh karenanya dia harus punya kontrol yang secara ketaatan demokratis diwakili oleh DPR,” kata Gina dalam Seminar Nasional Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi di Universitas Indonesia, Rabu (8/10).
Gina mengatakan bahwa dalam aturan terbaru UU TNI, kontrol sipil yang semestinya dilakukan melalui mekanisme eksekutif dan legislatif kini kian bergeser karena sejumlah tugas OMSP diatur melalui peraturan pemerintah atau Peraturan Presiden.
“Dulunya kontrol sipil yang demokratik melalui dua instansi, eksekutif dan legislatif. Kini berubah menjadi diatur melalui peraturan pemerintah. Bahkan banyak tugas perbantuan diatur hanya lewat memorandum of understanding (MoU) antara Panglima TNI dan kementerian atau instansi terkait,” ujarnya.
Definisi dan cakupan OMSP sendiri lanjut Gina, tercantum dalam aturan-aturan TNI yang menyebut OMSP sebagai kumpulan tugas non-perang TNI, seperti penanggulangan bencana, bantuan kemanusiaan, dan dukungan kepada Polri.
Gina mencontohkan bagaimana MoU dan pelaksanaan OMSP dapat menjalar ke kegiatan sehari-hari masyarakat.
“Contohnya kemarin di Blora, dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), TNI sudah punya MoU dan mereka terlibat dari hulu hingga hilir, dari pelatihan sampai mengantarkan makanan ke kelas-kelas. Ketika ada masalah, misalnya makanan basi, masyarakat merasa takut untuk bersuara,” tuturnya.
Lebih jauh, Gina menyoroti keberadaan komponen cadangan yang menurutnya mengandung risiko mobilisasi dan penegakan hukum yang berat terhadap yang menolak tugas.
“Soal komponen cadangan ini sudah ada lebih dari 5.000 lulusan. Dominan yang orang tidak ketahui adalah ketika mereka dipanggil lalu menolak, itu bisa dipandang sebagai desersi dan dihadapkan ke peradilan militer, ancaman hukumnya berat,” jelasnya.
Ia menilai pola ini bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi cepat saat ada kebutuhan menjaga stabilitas politik dan keamanan, yang pada gilirannya melindungi kepentingan investasi dan target ekonomi pemerintah.
Gina memperingatkan bahwa keseluruhan proses dari perluasan OMSP lewat aturan pemerintah, banyaknya MoU, keterlibatan dalam proyek-proyek berduit, hingga komponen cadangan yang mudah dimobilisasi, berpotensi menciptakan pola represif.
“Ini operasi gerakan dari penguasa untuk menganalisa dan memobilisasi sewaktu-waktu. Cara-cara represif itu dianggap sah untuk digunakan demi stabilitas politik dan keamanan, dan itu berbahaya bagi demokrasi kita,” ujarnya. (H-3)

1 week ago
13
















































