
PAKAR Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini menjelaskan ada sejumlah undang-undang (UU) yang akan terdampak pascaputusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal. Sehingga diperlukan penyelarasan, penyesuaian dan penataan segera oleh pembentuk UU.
Beberapa UU yang terdampak tersebut diantaranya, UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu, UU No.1 tanun 2025 tentang Pilkada, Undang-Undang No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik, Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“MK hanya memutus satu aspek soal format penjadwalan pemilu, tapi aspek-aspek lainnya walaupun ada di dalam sejumlah utusan MK tidak termuat dalam format putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah ini,” katanya dalam diskusi ‘Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD’ pada Minggu (27/7).
Titik menjelaskan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU harus segera mengkaji dan menentukan kapan titik pijak jeda terkait penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah ke depan.
“Harus diputus kapan titik pijak pemilu nasional dan daerah diselenggarakan karena MK tidak menyebut titik pijak tersebut. Apakah akan diselenggarakan dan dihitung sejak pelantikan DPR/DPD (1 Oktober 2029) atau pelantikan presiden dan wakil presiden (20 Oktober 2029),” jelasnya.
Titi juga menyoroti pentingnya sinkronisasi pengaturan antara pemilu DPRD dan pilkada sebab pilkada adalah bagian dari pemilu, termasuk memastikan koherensi pengaturan dengan sejumlah putusan MK yang berkorelasi dengan pemilu DPRD dan pilkada.
“Penting memastikan koherensi dalam sejumlah keputusan MK yang berkorelasi dengan pemilu DPRD dan Pilkada, misalnya implikasi putusan MK tentang penghapusan lambang batas presiden di dalam pencalonan kepala daerah ini juga penting. Sebab sisi teknikalitas dan teknokratis di dalam UU Pemilu itu ada sejumlah pengaturan yang tidak sama,” jelasnya.
Selanjutnya, Titi menilai pascaputusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal, penting bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan sinkronisasi sistem penganggaran.
“Sinkronisasi penganggaran ini sangat penting. Sebab sebelumnya pemilu DPRD dibiayai APBN, sementara Pilkada dibiayai oleh APBD. Ketika Pilkada nasional dan lokal dilebur, pemilihan pemimpin daerah pembiayaannya akan seperti apa,” tukasnya.
Titi juga mengajak DPR dan Pemerintah untuk tidak lagi membenturkan putusan MK dengan UUD dan segera melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, khususnya penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengkaji dan merumuskannya dalam RUU Pemilu dan Pilkada.
“Jangan hanya terpaku pada pembahasan pro dan kontra ideologis terkait konstitusionalis atau tidaknya putusan MK tersebut, sebab jika kita terjebak pada perdebatan yang ujung-ujungnya nanti tidak menyentuh akar-akar penting fundamental dari Pemilu, ini akan menyebabkan pemilih jadi apatis,” imbuhnya.
Lebih jauh, Titi menekankan DPR harus segera membahas RUU Pemilu sebab putusan MK tidak bisa menjadi obat bagi semua persoalan pemilu saat ini, namun dibutuhkan pendekatan reformasi legislasi.
“Sampai saat ini, UU No.7 tahun 2017 yang dipakai sebagai dasar Pemilu 2019 juga belum diubah untuk Pemilu 2024, sementara sudah banyak dari bagian batang tubuhnya yang diubah oleh putusan MK atau tidak relevan lagi dengan dinamika pemilu di Indonesia,” ucapnya. (M-1)