MK Tegaskan Negara tak Boleh Kriminalisasi Masyarakat Adat

4 hours ago 1
MK Tegaskan Negara tak Boleh Kriminalisasi Masyarakat Adat Masyarakat adat di Sumba saat pawai Hari Keadilan Ekologis(Indriyani/MI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang tentang Cipta Kerja. Putusan ini menegaskan bahwa negara tidak boleh mempidanakan masyarakat adat atau lokal yang hidup turun-temurun di kawasan hutan dan tidak melakukan kegiatan komersial.

Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan, sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bertentangan dengan UUD 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

“Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, dan menyatakan ketentuan pidana yang mengatur larangan kegiatan di kawasan hutan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam sidang pleno perkara Nomor 181/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Kamis (17/10).

Putusan ini menjadi koreksi terhadap pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap terlalu represif dan mengabaikan konteks sosial masyarakat adat, yang selama ini menggantungkan hidup pada hutan secara tradisional.

“Sebagai konsekuensi yuridis, norma pidana dalam Pasal 110B ayat (1) juga harus menyesuaikan dengan pengecualian pada Pasal 17 ayat (2) huruf b. Artinya, masyarakat adat atau masyarakat lokal yang hidup turun-temurun dan tidak melakukan kegiatan komersial tidak dapat dikenai sanksi pidana,” tegas Suhartoyo.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangannya menegaskan, substansi utama putusan ini adalah pemulihan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan lokal yang selama ini menjadi korban kebijakan pembangunan yang bias terhadap korporasi.

“Kata terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan harus dimaknai sebagai pendataan oleh pemerintah, bukan sebagai syarat administratif yang dapat mempidanakan masyarakat,” ujar Enny dalam sidang pembacaan putusan.

Ia menambahkan, negara justru wajib hadir dengan pendekatan pendataan partisipatif, bukan dengan ancaman hukum. 

“Dengan demikian, negara memiliki data yang akurat sekaligus melindungi masyarakat agar tidak dimanfaatkan pihak lain secara tidak bertanggung jawab,” tegasnya.

MK juga menyoroti praktik masyarakat adat yang memanfaatkan hasil hutan untuk berladang subsisten, mengambil rotan, madu, atau hasil non-kayu lainnya, sebagai bentuk kearifan lokal yang justru menopang keberlanjutan lingkungan.

“Masyarakat yang melakukan kegiatan tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat disamakan dengan pelaku usaha yang membuka lahan secara masif untuk perkebunan komersial,” ujar Enny.

Selain itu, Mahkamah menilai sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja menimbulkan konflik norma dan ketidakpastian hukum, terutama terhadap masyarakat yang tidak terdaftar secara resmi tetapi telah lama bermukim di kawasan hutan.

Enny mengatakan bahwa penerapan sanksi tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan historis masyarakat adat dapat menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Penegasan ini penting agar hukum tidak menjadi alat yang menindas masyarakat kecil, tetapi justru menjadi sarana perlindungan dan keadilan sosial,” ujarnya.

Lebih lanjut, MK menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi masyarakat adat dari ancaman kriminalisasi akibat ketidakjelasan regulasi. Atas dasar itu, norma pidana dalam UU Cipta Kerja harus dimaknai secara bersyarat, agar hanya berlaku untuk pelaku komersial atau korporasi yang merusak hutan. (H-4)

Read Entire Article
Global Food