
CEO Meta, Mark Zuckerberg, kembali menegaskan visinya soal masa depan teknologi. Dalam panggilan kinerja Juli lalu, ia menyebut orang yang tidak menggunakan kacamata pintar berpotensi berada pada “kerugian kognitif signifikan” dibanding mereka yang memakainya.
Visi itu diyakini akan lebih jelas pada konferensi Meta Connect pekan ini, di mana Meta diperkirakan meluncurkan generasi baru kacamata pintar bertenaga AI, penerus dari Ray-Ban Meta yang cukup sukses di pasaran. Kacamata ini kabarnya mampu menganalisis lingkungan sekitar penggunanya dan menjawab pertanyaan secara real time.
Meski upaya Meta di teknologi metaverse gagal, kacamata pintar justru menjadi titik terang. Ray-Ban sebagai mitra produksi melaporkan pendapatan dari lini ini melonjak tiga kali lipat pada 2024. Data riset pasar juga menempatkan Meta sebagai pemimpin di segmen kacamata pintar.
Persaingan bakal semakin ketat karena Google, Samsung, Snap, hingga Amazon juga bersiap merilis produk serupa dengan fitur augmented reality.
Mengapa kacamata pintar penting bagi Meta?
Bagi Meta, kacamata pintar lebih dari sekadar perangkat gaya hidup. Mereka bisa menjadi pintu masuk langsung ke konsumen tanpa bergantung pada smartphone. Zuckerberg menyebut teknologi ini bagian dari pengembangan “personal superintelligence”. AI yang memahami pengguna secara mendalam dan membantu mereka mencapai tujuan.
Kacamata Meta sebelumnya, Ray-Ban Stories, berfokus pada foto dan video hands-free. Namun generasi baru diprediksi hadir dengan layar kecil untuk menampilkan aplikasi/notifikasi serta gelang kendali gestur.
Keunggulan utama ada pada integrasi AI: pengguna bisa bertanya apakah cabai di tangannya pedas, atau meminta terjemahan tanda jalan secara instan. Namun, para analis menilai keterbatasan tanpa layar visual bisa menjadi tantangan, terutama jika kacamata ingin benar-benar menggantikan fungsi ponsel.
Tantangan besar di depan
Meski permintaan tumbuh cepat, pasar kacamata pintar masih kecil. ABI Research memperkirakan pengiriman unit akan naik dari 3,3 juta pada 2024 menjadi 13 juta di 2026, jauh tertinggal dibanding ratusan juta smartphone per kuartal.
Selain itu, divisi Reality Labs Meta, yang mengembangkan kacamata pintar dan headset VR Quest, masih membukukan kerugian besar, sekitar US$4,5 miliar pada kuartal kedua 2025.
Namun, bagi Meta, investasi ini adalah strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada raksasa seperti Apple dan Google, yang selama ini mengontrol distribusi aplikasi lewat toko aplikasi mereka. Jika kelak kacamata pintar menjadi perangkat utama untuk video call, media sosial, dan hiburan, Meta berpeluang mengambil alih kendali penuh atas pengalaman pengguna. (CNN/Z-2)