
SETIDAKNYA 32 orang tewas dan lebih dari 50 orang terluka dalam serangan udara yang terjadi di tengah perayaan festival Buddha di wilayah tengah Myanmar. Festival itu digelar untuk memperingati Festival Cahaya Myanmar, yang jatuh pada bulan purnama Thadingyut, bulan ketujuh dalam kalender lunar Myanmar.
Sejumlah anak termasuk yang menjadi korban tewas dan terluka dalam serangan yang berlangsung di Kotapraja Chaung U, wilayah Sagaing. pada Senin (6/10) malam. Chaung U salah satu basis utama perlawanan terhadap junta sejak kudeta 2021. Kawasan ini banyak dikuasai kelompok milisi rakyat dan menjadi target operasi militer yang intensif.
Acara nyala lilin yang menjadi sasaran bom sejatinya digelar sebagai aksi damai menentang wajib militer yang diberlakukan junta, sekaligus untuk menyuarakan tuntutan pembebasan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil yang dikudeta dan dipenjara. Ketika itu, sekitar 100 orang menghadiri acara nyala lilin dalam rangka hari libur nasional Thadingyut di Kotapraja Chaung U, wilayah Sagaing.
“Sepengetahuan saya, 32 orang tewas, termasuk lima orang dari (gerakan non-kekerasan dan pejuang perlawanan yang melindungi wilayah tersebut). Sisanya adalah warga sipiI," ujar seorang warga laki-laki yang dikutip kantor berita Irrawaddy.
Ia menambahkan, jenazah korban berserakan akibat ledakan, sehingga proses identifikasi menjadi sulit.
BBC melaporkan, serangan dilakukan oleh paralayang bermesin yang menjatuhkan dua bom ke arah kerumunan. Aksi itu berlangsung hanya dalam tujuh menit, menurut keterangan seorang anggota Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) lokal yang turut terluka.
PDF yang aktif di Chaung U juga mengelola pemerintahan lokal dan telah menerima informasi intelijen tentang potensi serangan udara. Namun, warga tidak sempat dievakuasi karena paramotor datang lebih cepat dari perkiraan.
Serangan tersebut langsung menimbulkan kepanikan dan kekacauan. Sejumlah jasad sulit dikenali karena tubuh korban hancur. Seorang perempuan yang menjadi panitia acara mengatakan anak-anak termasuk di antara korban.
“Anak-anak benar-benar hancur. Kami masih mengumpulkan potongan tubuh hingga keesokan harinya,” ungkapnya setelah menghadiri pemakaman massal pada Selasa (7/10).
Amnesty International mengecam keras insiden ini dan menilai penggunaan paramotor untuk menjatuhkan bom sebagai tren kekerasan baru yang mengkhawatirkan. Menurut peneliti Myanmar di Amnesty International Joe Freeman, “Serangan ini seharusnya menjadi peringatan mengerikan bahwa warga sipil Myanmar membutuhkan perlindungan segera.”
BBC Burmese melaporkan junta kini semakin sering menggunakan paramotor untuk menggantikan pesawat dan helikopter yang sulit diperoleh akibat sanksi internasional. Namun, dukungan drone dan teknologi militer dari Tiongkok serta Rusia disebut masih memperkuat kemampuan tempur mereka.
Sebagai informasi, perayaan nyala lilin yang menjadi sasaran bom itu digelar beberapa bulan menjelang pemilu nasional Desember 2025. Namun, banyak pihak meyakini bahwa pemilu tersebut hanya akan menjadi kedok untuk mempertahankan kekuasaan junta militer secara sewenang-wenang. (Fer/I-1)