
PENGAMAT politik Ray Rangkuti menyoroti kaburnya janji Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Ia menilai, setelah satu bulan berlalu sejak janji itu diucapkan, tanda-tanda keseriusan pemerintah justru semakin meredup.
“Pada awalnya sangat menggebu-gebu, tetapi kini entah kenapa seperti mulai meredup,” kata Ray Rangkuti dalam keterangannya, Kamis (16/10).
Ray mengingatkan bahwa pada September lalu, Presiden Prabowo sempat berjanji di hadapan para tokoh Gerakan Nurani Bangsa untuk segera membentuk tim reformasi polisi. Janji itu muncul sebagai salah satu respons atas tuntutan massa dalam aksi 27–30 Agustus.
“Masyarakat menyambut baik janji itu. Namun, dua minggu setelahnya geliat pemerintah seperti melemah sendiri. Hanya nama-nama calon tim yang muncul, tanpa ada langkah konkret,” ucapnya.
Menurut Ray, pemerintah sempat menjanjikan pengumuman resmi tim reformasi setelah Presiden Prabowo pulang dari Sidang Umum PBB. Namun, hingga kini, ia menilai janji tersebut tak juga terwujud.
“Sekarang bahkan sudah satu bulan berlalu dan presiden dua kali pulang dari luar negeri, tapi angin reformasi polisi makin menjauh, makin sepi dari hasrat,” tegasnya.
Ray menyebut publik tentu mencatat perjalanan janji ini dan menantikan kejelasannya. Menurutnya, tidak masuk akal jika alasan penundaan reformasi karena kesulitan mencari tokoh untuk tim reformasi.
“Tim ini paling banyak butuh sepuluh orang. Bahkan dengan mata tertutup pun, sepuluh nama dengan integritas tinggi bisa segera ditemukan,” tuturnya.
Ray menambahkan, jika alasan politik yang disebut menghambat, maka hal itu juga tidak relevan.
“Presiden Prabowo selalu digambarkan sebagai macan, bahkan macan Asia. Dengan dukungan mayoritas partai dan parlemen, kekuatan politik macam apa lagi yang bisa menghalanginya?” sindir Ray.
Lebih jauh, ia menduga penyebab utamanya justru karena Presiden Prabowo sendiri tidak memiliki komitmen kuat untuk melakukan reformasi polisi.
“Bagi presiden, reformasi polisi bukan bagian penting dari visinya. Ucapannya waktu itu sekadar menjawab tuntutan demonstran,” ucapnya.
Ia kemudian menguraikan sejumlah kemungkinan penyebab lambannya langkah reformasi kepolisian, sekaligus menilai alasan-alasan tersebut tidak logis.
“Kalau alasannya karena Polri membentuk tim transformasi sendiri, itu sulit diterima. Bagaimana mungkin polisi mereformasi dirinya sendiri setelah lebih dari 20 tahun gagal melakukan perubahan? polisi kita justru makin jauh dari tujuan pembentukannya,” tegasnya.
Di samping itu, Ray menyinggung citra Polri yang kini disebut-sebut lebih dekat dengan kekuasaan ketimbang masyarakat.
“Kini institusi ini dilabeli istilah ‘parcok’, merujuk pada kedekatan mereka dengan kekuasaan, bukan kepada rakyat,” kata Ray.
Selain itu, Ray menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum dan kerasnya tindakan intimidasi kepolisian terhadap masyarakat yang kritis.
“Satu bulan terakhir ini saja, polisi telah menahan 945 aktivis yang didakwa sebagai pelaku kerusuhan. Tapi apakah ada 1.000 orang ditahan karena korupsi dalam satu tahun terakhir? Akan sulit menemukan datanya,” ujarnya.
Meski begitu, Ray mengingatkan bahwa publik tidak akan melupakan janji tersebut. Ia menegaskan mungkin sekarang warga tampak tenang, tapi sesungguhnya mereka sedang mencatat semuanya janji dan kelalaian pemerintah.
“Itu tersimpan dalam file memori rakyat. Cukuplah tragedi Agustus menjadi pengingat bahwa masyarakat kita tidak pernah lupa. Mereka hanya rehat sejenak,” pungkasnya. (Dev/P-3)