Ilmuwan Serukan Dialog Global untuk Dorong Kebijakan Tembakau Berbasis Sains

4 hours ago 3
Ilmuwan Serukan Dialog Global untuk Dorong Kebijakan Tembakau Berbasis Sains Mantan Direktur Penelitian, Kebijakan & Kerja Sama WHO, Tikki Pangestu(Imedic)

Mantan Direktur Penelitian, Kebijakan & Kerja Sama WHO, Tikki Pangestu, menilai adopsi strategi pengurangan risiko tembakau (Tobacco Harm Reduction/THR) masih berjalan sangat lambat, meski bukti ilmiah menunjukkan potensi manfaat produk tembakau alternatif. Teknologi seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, hingga kantong nikotin dinilai bisa menjadi opsi berisiko lebih rendah bagi perokok dewasa yang ingin beralih.

Berbicara dalam sesi panel Symposium 6: Strengthening Health Resilience in the Era of Global Challenges pada Imedic 2025, Tikki mempertanyakan mengapa inovasi yang dapat membantu mengurangi epidemi merokok global itu belum dimanfaatkan secara optimal.

“Kenapa produk-produk inovatif ini belum digunakan secara luas sebagai strategi penting untuk mengakhiri epidemi merokok? Ini masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara,” ujarnya, Rabu (22/10).

Menurut dia, ada lima faktor yang paling menghambat penerapan THR dan membuat penurunan prevalensi merokok berjalan lambat. Hambatan pertama, sikap WHO yang sangat menolak kebijakan pengurangan risiko tembakau. “WHO punya pengaruh besar. Ketika mereka menolak, negara-negara cenderung mengikuti,” katanya.

Akibatnya, negara berpenghasilan menengah dan rendah sering tidak punya ruang menilai manfaat produk alternatif secara mandiri.

Kedua, regulasi yang tidak proporsional dan terfragmentasi, sehingga memengaruhi aksesibilitas, keterjangkauan, serta keamanan produk alternatif.

ketiga, maraknya misinformasi mengenai risiko dan manfaat produk. Banyak narasi keliru yang menyamakan risiko produk alternatif dengan rokok. “Padahal buktinya jelas, risikonya 90 persen lebih rendah,” tegas Tikki.

Keempat, ketidakpercayaan terhadap industri akibat citra masa lalu. Keraguan ini membuat upaya perusahaan yang mulai beralih ke produk risiko lebih rendah tetap dipandang negatif.

Kelima, pembahasannya kerap digeser ke isu nikotin dan anak muda, bukan fokus pada perokok dewasa yang ingin berhenti. “Pengguna vape dewasa 15 kali lebih banyak daripada anak muda. Jadi kenapa fokusnya dialihkan?” katanya.

Konsekuensi dari hambatan tersebut antara lain kebijakan publik yang tidak seimbang, hingga meningkatnya pasar gelap di negara yang melarang produk alternatif. Ia menyoroti contoh Australia, di mana larangan vape justru memicu perdagangan ilegal lintas negara.

Tiga Langkah Strategis untuk Perubahan Kebijakan Global

Untuk mengatasi berbagai hambatan itu, Tikki menawarkan tiga langkah utama yang dinilai krusial untuk masa depan kebijakan kesehatan berbasis bukti.

Pertama, diperlukan kepemimpinan politik dan kemauan kuat untuk mendorong WHO membuka dialog yang lebih inklusif dan transparan tentang peran produk tembakau alternatif. “Dengan dialog yang lebih terbuka dan berbasis data, negara bisa membuat kebijakan yang seimbang,” ujarnya.

Kedua, dukungan berbagai pemangku kepentingan perlu dimobilisasi, mulai konsumen dewasa, investor, akademisi, media, profesi kesehatan, hingga penegak hukum, sehingga advokasi kebijakan berbasis sains makin kuat.

Ketiga, membangun kepercayaan dan kolaborasi jangka panjang antara pemerintah, akademisi, dan industri. Ia mencontohkan program Switch to Stop di Inggris yang memberikan akses produk alternatif kepada satu juta perokok sebagai bagian dari strategi kesehatan nasional.

“Inggris memberi bukti kuat bahwa program Switch to Stop membantu masyarakat beralih dari rokok ke produk berisiko lebih rendah dengan dampak kesehatan publik yang jelas,” tuturnya.

Tikki menegaskan bahwa diskusi global mengenai pengurangan bahaya tembakau harus diarahkan pada solusi ilmiah dan kolaborasi lintas sektor, agar inovasi yang tersedia benar-benar dapat dimanfaatkan untuk menurunkan risiko penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. (E-3)

Read Entire Article
Global Food