
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai penyelesain perundingan Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) menjadi penangkal strategis terhadap pelemahan ekspor akibat tarif impor baru Amerika Serikat (AS).
Ia menuturkan di tengah ketidakpastian global akibat kebijakan proteksionisme AS yang menimbulkan gangguan rantai pasok dan volatilitas perdagangan, IEU-CEPA menawarkan jalur alternatif untuk memperkuat keterhubungan ekonomi Indonesia dengan salah satu mitra dagang utama non AS.
"Dalam jangka pendek, penyelesaian IEU-CEPA dapat berfungsi sebagai strategi mitigasi risiko terhadap pelemahan ekspor akibat tarif impor baru AS," ujar Josua kepada Media Indonesia, Selasa (15/4).
Secara substansial, IEU-CEPA berpotensi memberikan manfaat besar bagi Indonesia. Menurut kajian Centre for Strategic and International Studies (CSIS), perjanjian ini diperkirakan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke Eropa sebesar 57,76% dan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,19%. Hal ini diyakini memperkuat daya saing ekspor.
"Terutama setelah Indonesia kehilangan status preferensi tarif (GSP) dari Uni Eropa. Di sisi lain, liberalisasi sektor jasa dan investasi Eropa dapat memperkaya kualitas infrastruktur ekonomi domestik," terang Josua.
Namun, lanjutnya, ada sejumlah implikasi dan tantangan penting. Pertama, tekanan Uni Eropa terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia, terutama terkait larangan ekspor nikel dan bahan mentah. Hal ini dianggap berisiko mengganggu strategi pembangunan industri berbasis nilai tambah nasional.
Josua menegaskan klausul dalam IEU-CEPA yang menolak pembatasan ekspor dan mengharuskan non-diskriminasi dalam sektor energi dan bahan mentah bisa melemahkan agenda hilirisasi pemerintah.
Selanjutnya, proposal Uni Eropa untuk penerapan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) atau Investment Court System (ICS) menuai kekhawatiran akan terbatasnya kedaulatan hukum nasional. Pengalaman Indonesia dengan gugatan arbitrase oleh investor asing seperti Newmont telah mendorong pembatalan 67 Bilateral Investment Treaties (BIT) sejak 2013.
"Jika tidak dikelola hati-hati, IEU-CEPA bisa membuka kembali risiko ini," imbuh Josua.
Secara keseluruhan, Josua berpandangan percepatan penyelesaian IEU-CEPA merupakan langkah strategis untuk memperluas pasar ekspor dan menarik investasi Eropa di tengah tekanan proteksionisme global. Namun, pemerintah Indonesia harus cermat dalam menegosiasikan klausul-klausul kunci agar tidak mengorbankan kedaulatan ekonomi nasional, strategi hilirisasi, perlindungan petani, dan hak digital masyarakat. Jika dikelola dengan baik, IEU-CEPA tentu bisa menjadi counterbalance atau mengimbangi terhadap ketidakpastian akibat kebijakan dagang AS.
"Sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam peta global perdagangan yang semakin multipolar," pungkas Josua. (E-3)