
SAAT Jalur Gaza berdarah-darah, Tepi Barat pun penuh gejolak. Kehidupan warga di daerah yang sebagian besar dikuasai Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas itu masih berat. Tidak hanya muslim, warga Kristen di wilayah Palestina itu juga merasakan pedihnya penjajahan Israel.
"Sangat sulit membicarakan harapan saat ini. Jelas sekali tidak ada hukum di sini. Satu-satunya hukum hanyalah kekuasaan," ujar Kardinal Pierbattista Pizzaballa, Patriark Latin Jerusalem, dilansir The National, kemarin. Ia bersama sekelompok pemimpin gereja berkumpul di desa Kristen kuno Taybeh, Tepi Barat yang diduduki, untuk menunjukkan solidaritas dengan komunitas kecil tersebut saat menghadapi serangan pemukim Israel.
Itulah penilaian sangat suram dari seorang Kristen paling berpengaruh di Tanah Suci, yang baru saja kembali dari konklaf kepausan di Vatikan, setelah mencalonkan diri sebagai paus. Di Jerusalem, kekuasaan Kardinal Pizzaballa mungkin hanya tertandingi oleh Duta Besar AS Mike Huckabee, seorang Zionis Kristen yang pro-Israel dan pro-pemukim dan memiliki pengaruh besar di mata Presiden Donald Trump.
Peternak ayam
Sebagai satu-satunya komunitas mayoritas Kristen yang tersisa di Tepi Barat, kehidupan di Taybeh mencerminkan masa depan yang tidak menentu bagi seluruh umat Kristen Palestina. Jalan-jalannya yang kosong menunjukkan betapa kecilnya komunitas tersebut seiring meningkatnya migrasi.
Kisah peternak ayam Jerry Salwad menceritakan perjuangan umat Kristen menghadapi kekerasan pemukim. Peternakannya di sebelah timur desa dekat dengan pos terdepan ilegal Israel, tempat banyak serangan dimulai.
"Untuk memenuhi kebutuhan dasar, kami terus menjalankan peternakan ayam. Sayangnya, saat mengangkut anak ayam dan makanan, kami dihentikan oleh para pemukim yang melarang kami bepergian,” ujarnya.
"Suatu ketika, saya sedang pulang kerja dengan mobil saya dan para pemukim datang dari arah berlawanan dan memblokade jalan. Mereka mengeluarkan senjata dan ingin mengambil mobil saya. Saya mencoba mengulur waktu dan memberi mereka kunci. Untungnya, usaha mereka tidak berhasil. Saya mencoba berbicara dengan polisi Israel tetapi tidak ada jawaban."
Para pemimpin dan patriark gereja mengeluarkan pernyataan pada Senin (14/7) setelah serangan brutal pemukim Israel pekan lalu. Mereka menggambarkan masalah kekerasan pemukim yang lebih luas terhadap penduduk kota.
Merusak kebun zaitun
"Dalam beberapa bulan terakhir, para radikal membawa ternak mereka merumput di lahan pertanian milik orang Kristen di sisi timur Taybeh, area pertanian, yang paling baik sehingga tidak dapat diakses. Akan tetapi yang terburuk yaitu merusak kebun zaitun yang menjadi sandaran keluarga," kata pernyataan itu.
Bulan lalu beberapa rumah diserang para radikal itu. Mereka menyalakan api dan memasang papan reklame bertuliskan, "Tidak ada masa depan bagi Anda di sini."
Para pemimpin gereja menekankan bahwa ini bukan hanya masalah bagi orang Kristen, tetapi juga semua warga Palestina di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Pastor Bashar Fawadleh, dari jemaat Katolik Taybeh, mengatakan bahwa peristiwa pedih di desanya merupakan cerminan derita yang dialami kota dan desa di Tepi Barat.
"Tanah yang digarap dengan cinta sedang dibakar," tambahnya. "Para pemukim bersenjata memasuki tanah kami. Kami tidak dapat mengakses pohon zaitun kami sendiri. Warga diteror di malam hari dan dikepung di siang hari. Kami dikelilingi gerbang besi, tercekik pos pemeriksaan militer, seolah-olah kami ialah orang asing di tanah kami sendiri."
Dalam perjalanan singkat dari Taybeh, dua warga Palestina dibunuh pada Jumat (11/7) oleh para pemukim di kota Turmus Aya. Sayafollah Musallat, 20, seorang warga Palestina keturunan AS, dipukuli hingga tewas. Hussein Al Shalabi, 23, dipukuli dan kemudian ditembak mati dalam serangan yang sama.
Hukuman tidak dijatuhkan
Polisi Israel mengatakan mereka menahan orang-orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan di Turmus Aya, tetapi jika mengacu pada kasus-kasus sebelumnya, tuntutan dan hukuman kemungkinan besar tidak akan dijatuhkan. Para pelakunya telah dibebaskan meskipun militer Israel mengatakan sedang menyelidiki insiden tersebut. Keluarga Musallat mengkritik karena pemerintah AS gagal mengambil tindakan.
Sesaat sebelum memulai doanya, Kardinal Pizzaballa ditanya tentang tanggapan dari pihak berwenang. Ia hanya berkata, "Saya ragu, tetapi saya berharap."
Pastor Fawadleh, yang menjalani kenyataan pahit di desa tersebut, mengatakan bahwa komunitasnya bukanlah orang yang lewat, bukan migran, bukan pula orang asing di Tanah Suci. "Tanah ini bukan sekadar tanah air melainkan panggilan, misi, dan perjanjian yang tidak boleh dilanggar."
Pemukim usir warga
Namun, ada insiden harian yang jarang diliput media. Dalam beberapa pekan terakhir, para pemukim memaksa warga Palestina meninggalkan desa mereka dan melakukan serangan berulang kali terhadap properti dan penduduk.
Rata-rata dua warga Palestina terluka dalam serangan pemukim tahun ini setiap hari, menurut statistik terbaru PBB. "Para pemukim dan pasukan keamanan Israel mengintensifkan pembunuhan, serangan, dan pelecehan mereka terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Jerusalem Timur, dalam beberapa pekan terakhir," ujar Thameen Al-Kheetan, juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OCHCR), kepada para wartawan di Jenewa, kemarin.
Sekitar 30.000 warga Palestina mengungsi secara paksa di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki sejak militer Israel melancarkan operasi Tembok Besi di awal 2025. Operasi ini berkontribusi pada konsolidasi aneksasi Tepi Barat yang melanggar hukum internasional. (Alarabiya/I-2)