
PENELITI Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai ada potensi korupsi seperti kredit fiktif dan penyalahgunaan wewenang atau suap dalam kebijakan kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ke lima bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Zaenur menjelaskan penempatan dana Rp200 triliun ke Bank Himbara memiliki risiko korupsi seperti dana lainnya. Ia mengambil contoh kasus pemberian kredit ke PT Sritex. Adapun, kasus korupsi ini dibagi menjadi dua klaster.
Klaster pertama berhubungan dengan kredit dari Bank BJB, Bank DKI, dan Bank Jateng dengan total kerugian negara sekitar Rp1,08 triliun. Rinciannya, utang dari Bank BJB sebesar Rp543,9 miliar, Bank DKI Rp149 miliar, dan Bank Jateng Rp395,6 miliar.
Sementara klaster kedua melibatkan kredit sindikasi dari Bank BNI, BRI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan perkiraan nilai kerugian mencapai Rp2,5 triliun.
"Di dalam dunia perbankan banyak potensi risiko ya benar, salah satunya kredit fiktif atau juga penyalahgunaan atau suap mendapatkan kredit. Penyalahgunaan contohnya di kasus Sritex, kredit fiktif banyak dari dulu BUMN dan bank lain, semua pidana, tapi kalau berkaitan dengan BUMN, Himbara karena itu adalah punya negara menjadi tindak pidana korupsi," kata Zaenur kepada Media Indonesia, Jumat (19/9).
Zaenur kemudian mempertanyakan apakah tambahan likuiditas Rp200 triliun akan disalurkan secara hati-hati oleh perbankan atau kejar target. Ia menilai ketika kejar target dan standar kehati-hatiannya rendah, maka risiko adanya korupsi menjadi lebih tinggi.
Maka dari itu, dia menilai bank Himbara harus memastikan penyaluran Rp200 triliun itu sesuai dengan aturan. Ia juga meminta Bank Himbara menyiapkan mitigasi risiko mencegah adanya korupsi.
"Menurut saya suntikan Rp200 triliun ini seharusnya, perbankan tetap menerapkan standar yang tinggi, prinsip kehati-hatian, dan mitigasi risiko dan juga harus ada safe guarding jangan sampai ini kemudian menjadi mudah disimpangkan menjadi korupsi," katanya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait potensi korupsi akibat kebijakan penempatan dana Rp200 triliun ke lima bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Hal tersebut disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat mengumumkan lima tersangka dugaan korupsi pencairan kredit fiktif PT BPR Bank Jepara Artha (Perseroda) tahun 2022-2024 pada Kamis (18/9).
Asep mengatakan, kasus tersebut menjadi alarm bagi semua pihak agar pencairan dana perbankan tidak lagi berujung pada tindak pidana korupsi.
"Sisi negatifnya tentunya ada potensi-potensi tindak pidana korupsi seperti yang terjadi di Bank Pekreditan Rakyat Bank Jepara Artha. Kreditnya kemudian macet karena memang ini kreditnya kredit fiktif,” kata Asep.
Asep mengatakan kucuran dana Rp200 triliun akan menjadi stimulus bagi perekonomian sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk mencegah praktik korupsi. KPK pun siap jika diminta untuk melakukan pengawasan dan monitoring.
"Jadi adanya stimulus ekonomi yang diberikan oleh pemerintah dengan menggelontorkan Rp 200 triliun itu menjadi sebuah tantangan juga bagi kami di KPK untuk melakukan pengawasan, monitoring nanti dari Direktorat Monitoring Kedeputian Pencegahan dan Monitoring untuk mengawasi,” tuturnya. “Sehingga stimulus ekonomi ini bisa berjalan dengan baik dan memberikan efek positif bagi ekonomi masyarakat,” ucap dia. (Faj/P-2)