
HAKIM Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan Nadiem Anwar Makarim. Dalam sidang perdana pada Jumat (3/10/2025), dia menegaskan bahwa proses sidang praperadilan harus bebas dari intervensi.
Integritas Hakim I Ketut Darpawan memang sudah teruji. Saat menjabat Ketua Pengadilan Negeri Dompu, ia menerima penghargaan sebagai Insan Anti Gratifikasi Tahun 2024. Penghargaan ini bertepatan dengan peringatan Hari Anti-Korupsi Se-Dunia pada 9 Desember 2024 dan diberikan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI Sunarto.
Dalam praperadilan Nadiem, Hakim I Ketut Darpawan sudah melakukan terobosan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Praperadilan, hakim memberikan kesempatan Amicus Curiae dari 12 tokoh antikorupsi untuk dibacakan langsung di persidangan.
Dalam kesempatan tersebut, peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil dan pegiat antikorupsi Natalia Soebagjo mewakili 10 amici lainnya menyampaikan isi amicus curiae. Dia menyatakan, praperadilan yang berlangsung di Indonesia selama ini dianggap telah menyimpang karena kurang berhasil dalam menjalankan fungsinya seperti yang dimaksudkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
"Hakim praperadilanlah yang seharusnya dapat menguji apakah penilaian subyektif tersebut benar-benar beralasan atau tidak. Kewenangan ini melekat pada hakim oleh karena hakim bukan lah pihak yang berkepentingan terhadap perkara tersebut, bukan pihak yang melakukan penyidikan maupun pihak yang disidik," ujar Arsil.
Selama ini, pemeriksaan praperadilan sering kali mengikuti prosedur yang mirip dengan hukum acara perdata, dengan pihak yang mengajukan dalil harus membuktikannya. Prinsip siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan ini dinilai tidak cocok karena praperadilan merupakan bagian dari hukum pidana.
Praktik prosedur pemeriksaan praperadilan yang berlangsung saat ini juga dinilai para amici bukan dari prosedur yang baku. KUHAP tidak mengatur secara jelas tahapan-tahapan pemeriksaan praperadilan, namun hanya mengatur waktu sidang harus sudah ditentukan, kewajiban hakim mendengar keterangan dari tersangka maupun pejabat yang berwenang, waktu permohonan harus sudah diputus, dan bagaimana putusan praperadilan. Bahkan apakah pengajuan praperadilan berbentuk permohonan atau gugatan saja sama sekali tidak diatur dalam KUHAP.
"Adanya kekosongan pengaturan prosedur pemeriksaan atau hukum acara praperadilan, terlebih praperadilan atas penetapan tersangka yang memang sama sekali tidak disebut dalam KUHAP, melainkan sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Arsil.
Netralitas hakim sangat dibutuhkan dalam memutuskan perkara dalam praperadilan. Apalagi dalam beberapa kasus penetapan tersangka korupsi terdapat standar ganda dalam penggunaan alat bukti. Contohnya saat menetapkan Tom Lembong, menteri Perdagangan 2015-2016 sebagai tersangka kasus korupsi impor gula, Kejaksaan Agung menggunakan audit BPKP untuk menetapkan adanya kerugian negara.
Namun hal tersebut tidak berlaku dalam kasus Nadiem. Walaupun sudah dilakukan audit oleh BPKP terhadap pengadaan Chromebook tahun 2020-2022, yang menjadi obyek perkara Nadiem, Kejaksaan Agung justru mengabaikannya. Padahal baik Tom Lembong maupun Nadiem sama-sama memimpin kementerian dan menjadi obyek BPKP sebagai auditor negara.
Seperti diketahui dalam laporan auditnya, BPKP menyatakan tidak ditemukan mark-up (penggelembungan harga) atau pelanggaran harga dalam pengadaan Chromebook periode 2020-2022.
Dalam pembacaan amicus curiae, Arsil menyampaikan pendapat hukum agar praktik pemeriksaan dalam praperadilan diubah. Dalam sidang praperadilan sebelumnya, Termohon dalam hal ini Penyidik seharusnya menjadi pihak pertama yang menjelaskan secara rinci mengenai tindak pidana yang diduga terjadi dan alasan yang mendasari penetapan Pemohon sebagai tersangka. Praktik transparansi ini juga krusial agar publik dapat memahami secara jelas pokok perkara yang sedang disengketakan, karena mereka memiliki hak untuk mengetahui.
"Jika usulan kami dijalankan, maka Hakim Ketua sidang yang dimuliakan telah meletakan tonggak sejarah baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan benar-benar menegaskan fungsi hakim dan pengadilan sebagai lembaga yang benar-benar berfungsi menjalankan fungsi check and balances terhadap kekuasaan eksekutif yang dalam hal ini diwakili oleh penyidik, terlepas dari apapun putusan akhir yang akan dijatuhkan pada permohonan," tegas Arsil. (Cah/P-3)