
ANGGOTA Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekartono mengkritisi keberadaan Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) yang berlokasi di Kulon Progo. Bandara itu dinilai lebih merugikan masyarakat terutama bagi mereka yang hendak menuju dan meninggalkan Yogyakarta.
“Bandara Kulon Progo ini sebenarnya merugikan, bukan menguntungkan masyarakat yang akan menuju Yogyakarta, daripada mereka yang mendarat di Bandara Adisutjipto. Terbukti kini Bandara Kulon Progo jadi sepi diminati masyarakat,” ujar pemilik sapaan akrab BHS, Rabu (2/7).
Menurut Kapoksi Komisi VII DPR RI ini, masyarakat dari Pulau Jawa cenderung lebih memilih moda transportasi kereta api ketimbang pesawat karena faktor waktu tempuh, harga tiket, dan transportasi lanjutan yang mahal dari YIA ke Yogyakarta. “Jarak dari Yogyakarta ke bandara dengan kendaraan 1,5 jam, dan dengan kereta api sekitar 1 jam,” ucapnya.
Selain itu, ia menyoroti ketidaksesuaian jadwal antara kereta api dan penerbangan. "Ini menyulitkan, terutama karena jadwal kereta api tidak selalu terkoneksi dengan jadwal penerbangan," katanya.
Bukan hanya aksesibilitas, anggota Dewan Pakar DPP Gerindra ini juga menyinggung anggaran pembangunan YIA yang tak sebanding dengan hasilnya.
“Bandara Kulon Progo ini dibangun dengan biaya amat mahal sekitar Rp11–12 triliun. Jika dibandingkan dengan Bandara Kertajati yang luasnya dua kali lipat, itu hanya dibangun dengan biaya Rp2,8 triliun,” katanya.
Dari sisi keselamatan, BHS menilai lokasi YIA tidak ideal. Pertama, bandara ini dekat dengan pantai selatan sehingga potensi tsunami akibat gempa megathrust di lempengan Indo-Australia sangat besar.
"Ini pernah terjadi dengan ketinggian tsunami 13 meter di sekitar lokasi bandara, sekitar 200 tahun lalu, apalagi kondisi tanah di area bandara cenderung bisa terjadi likuifaksi karena tanah itu bergerak cenderung gembur, sehingga jika terjadi tsunami, infrastruktur bandara bisa hancur,” kata BHS.
Ia melanjutkan potensi bahaya lainnya yang bisa mengancam keselamatan penerbangan ialah terkait runway bandara. “Lantaran runway bandara ini tidak lebih dari 500 meter dari bibir pantai, pasir pantai bisa mengganggu penerbangan. Ini membahayakan turbin pesawat, apalagi saat musim angin utara, yang bisa menyebabkan kerusakan mesin dan kemacetan operasional," tukasnya.
BHS juga menyoroti fenomena turbulensi angin pantai yang membentur pegunungan di sisi utara bandara berisiko pada proses lepas landas pesawat. “Ini berbahaya. Kondisi ini juga diketahui lembaga Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT),” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, lokasi bandara yang diapit dua sungai yaitu Sungai Serang di timur dan Sungai Bogowonto di barat sering membuat area kerawanan banjir.
Ia mengaku telah menyuarakan kekhawatiran itu sejak awal pembangunan saat di komisi VI DPR RI. Untuk itu, ia mendesak agar dilakukan audit menyeluruh dan kajian ulang atas keberadaan YIA.
“Walau sudah terlambat, tetapi karena menyangkut keselamatan publik, tak ada kata terlambat. Bila perlu, ditutup dan dikembalikan ke lokasi semula di Adisutjipto,” tegas BHS.
“Adisutjipto adalah bandara paling layak karena integrasi moda transportasinya, baik bus maupun kereta api terkoneksi dengan baik. Jadi kembalikan saja untuk keselamatan publik,” pungkasnya. (H-2)