
WAKIL Menteri Agama (Wamenag) Romo R Muhammad Syafi’i mengungkapkan masjid harus menjadi pusat pembinaan umat yang holistik, tidak hanya sebagai tempat ibadah ritual, tetapi juga sebagai episentrum transformasi sosial, pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan.
“Sejak masa Rasulullah hingga Khilafah Utsmaniyah, masjid adalah tempat pendidikan, pelayanan sosial, musyawarah, bahkan basis logistik perjuangan. Itu modal sosial yang sudah final,” ujarnya saat membuka kegiatan Sarasehan Kemasjidan dan Lokakarya Nasional Badan Kesejahteraan Masjid (Saraloka BKM), Senin (7/7) malam, di Jakarta.
Ia mencontohkan Madinah sebagai model kota bercahaya (al-Munawwarah), karena mampu menyelaraskan keragaman suku, budaya, dan agama dalam satu sistem nilai ketuhanan. “Masjid adalah fondasi perubahan itu,” lanjutnya.
Wamenag juga mengajak seluruh pengelola masjid untuk menjawab kebutuhan umat secara nyata. “Kalau kita ingin generasi muda betah di masjid, siapkan kebutuhannya. Ada masjid yang punya klinik, perpustakaan, layanan zakat, bahkan beasiswa pendidikan. Itu baru menjawab zaman,” ujarnya.
Kritik Reduksi Fungsi Masjid
Ia juga mengkritik reduksi fungsi masjid yang hanya dipakai untuk kegiatan ibadah tanpa keberlanjutan. “Kita tak bisa sekadar retorika membina keluarga sakinah, tapi tidak menghadirkan program konkret. Coba lihat, berapa masjid yang menjadi pusat ekonomi umat? Berapa yang punya program pembinaan anak-anak?” katanya.
Ia juga mengusulkan agar dana-dana keagamaan seperti zakat, infak, dan wakaf dikelola secara produktif oleh masjid melalui skema yang akuntabel. “Bayangkan jika dana wakaf umat kita kelola dengan baik. Seperti Al-Azhar di Mesir, wakafnya bahkan bisa menalangi APBN negaranya. Kita harus menuju ke sana,” jelasnya.
Romo Syafi’i juga menekankan pentingnya menyusun sistem kebijakan lintas sektor agar pengelolaan masjid mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. “Saya sedang mendorong agar kepala daerah dapat memberikan hibah keagamaan lintas agama secara adil dan setara. Kita ingin kegiatan keagamaan apa pun didukung negara, sesuai konstitusi,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan kekuatan NKRI hari ini juga ditopang oleh kontribusi masjid. “Resolusi jihad, pembinaan pemuda, bahkan pendidikan nasional, semua lahir dari ruang-ruang masjid. Maka sekarang saatnya kita berani transformasi. Jangan sampai masjid hidup dalam nostalgia, tapi mati dalam kontribusi,” tutupnya.
Masjid tidak Boleh Berdiri Sendiri
Sementara itu, Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, dalam laporannya mengatakan, kegiatan Saraloka BKM digelar 7 hingga 9 Juli 2025, dan diikuti 300 peserta dari berbagai daerah. Acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian Peaceful Muharam yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag).
Arsad mengungkapkan, masjid tidak boleh berjalan sendiri. Diperlukan sinergi multipihak dalam bentuk kolaborasi pentahelix, yaitu pemerintah, ormas, akademisi, pelaku usaha, dan media, untuk menjawab isu-isu sosial umat yang kompleks seperti perceraian, kemiskinan, dan pinjaman daring ilegal.
“Masjid harus menjadi bagian dari solusi. Maka kita tidak bisa lagi bekerja sektoral. Kita butuh integrasi data, sinergi kelembagaan, dan agenda bersama,” tegas Arsad.
Arsad menyebut, saat ini terdapat 695.244 masjid dan musala yang tersebar di seluruh Indonesia yang telah terdaftar pada aplikasi Sistem Informasi Masjid (SIMAS). Selain itu, terdapat 28.138 lembaga BKM yang bertanggung jawab atas pengelolaannya. Menurut Arsad, jumlah ini menjadi potensi besar untuk menggerakkan pembangunan berbasis komunitas. (M-3)