Starlink Setahun di Indonesia: Kecepatan Turun, FWA Unggul

17 hours ago 4

Selular.id – Setahun setelah meluncur di Indonesia, layanan satelit Starlink menghadapi tantangan signifikan. Kecepatan unduh turun hampir dua pertiga, sementara Fixed Wireless Access (FWA) justru unggul dalam tiga metrik kunci. Kondisi ini mempertanyakan kemampuan Starlink memenuhi janji meningkatkan inklusi digital di Indonesia.

Starlink resmi beroperasi di Indonesia pada Mei 2024 dengan komitmen Elon Musk menghadirkan konektivitas di daerah terpencil. Awalnya, layanan ini menawarkan kecepatan mengesankan 42.0 Mbps untuk unduh dan 10.5 Mbps untuk unggah. Namun dalam 12 bulan, performa tersebut merosot drastis karena lonjakan permintaan yang tak terduga.

Data terbaru menunjukkan kecepatan unduh Starlink turun hampir dua pertiga, sementara kecepatan unggah berkurang hampir separuh. Pengalaman menonton video juga turun lima poin. Kondisi ini memaksa Starlink membekukan sementara pendaftaran pengguna baru sebelum akhirnya membuka kembali dengan tambahan biaya khusus.

Perbandingan performa Starlink dan FWA di Indonesia

Ketika layanan dibuka kembali Juli 2025, calon pelanggan baru harus membayar “biaya tambahan permintaan tinggi” antara Rp 8 juta hingga Rp 9,4 juta, tergantung gateway. Jumlah ini setara tiga kali upah bulanan rata-rata Indonesia yang sebesar Rp 3,09 juta. Kebijakan ini membatasi akses masyarakat terhadap layanan satelit tersebut.

Meski demikian, ada peningkatan dalam Consistent Quality dari 24,2% menjadi 30,9%. Peningkatan tahun-ke-tahun ini mencerminkan perbaikan latensi dan upgrade infrastruktur, meski kecepatan menurun. Starlink tetap menunjukkan perkembangan positif dalam hal stabilitas koneksi.

FWA Unggul di Tiga Metrik Utama

Perbandingan dengan Fixed Wireless Access (FWA) menunjukkan hasil menarik. Starlink memang unggul dalam kecepatan unduh, namun FWA memimpin di tiga metrik lain: kecepatan unggah, Consistent Quality, dan pengalaman video.

FWA mencetak skor hampir 50% untuk Consistent Quality, jauh melampaui Starlink yang hanya 30,9%. Kesenjangan ini menunjukkan keandalan FWA yang lebih konsisten dibanding layanan satelit. FWA menjadi pilihan pragmatis operator dalam memenuhi permintaan pasar, terutama mengingat sebagian besar layanan masih berjalan di 4G.

Ekspansi 5G FWA berjalan bertahap karena keterbatasan spektrum 5G. Telkomsel mendominasi segmen ini dengan layanan Orbit yang tumbuh 31% menjadi 1,1 juta pelanggan pada 2023. XL Axiata juga menawarkan FWA, sementara Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) masuk pasar pada 2024 dengan HiFi Air.

Nilai Strategis Satelit untuk Geografi Indonesia

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 1.000 pulau membuat konektivitas satelit memiliki nilai strategis. Starlink menawarkan performa lebih merata di seluruh wilayah nasional, termasuk provinsi terpencil di timur seperti Maluku dan Papua Barat.

Sebaliknya, FWA berfokus pada wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Sumatera. Kesenjangan stabilitas menjadi jelas: FWA memberikan reliabilitas lebih baik, sementara Consistent Quality Starlink yang lebih lemah paling terasa di zona pedesaan. Ini menegaskan peran komplementer Starlink sebagai pengisi celah di area sulit terjangkau.

Pengalaman pengguna Starlink dan FWA sangat bervariasi berdasarkan tingkat urbanisasi. Di perkotaan, pengguna Starlink menikmati kecepatan unduh hampir 25 Mbps lebih cepat daripada FWA. Di pedesaan, Starlink juga menunjukkan kecepatan lebih tinggi, sementara di kota kecil dan pinggiran kota hasilnya mirip antara kedua teknologi.

Secara regional, Starlink memberikan performa lebih seragam di seluruh Indonesia, sementara FWA menunjukkan disparitas lebih lebar yang mencerminkan cakupan terestrial tidak merata. Komdigi menyebut Starlink akan menambah frekuensi E-Band untuk meningkatkan kapasitas layanannya.

Tantangan Regulasi yang Berkelanjutan

Kehadiran Starlink di Indonesia didukung pemerintah untuk memperluas konektivitas pedesaan, khususnya untuk kesehatan dan pendidikan, sekaligus menyediakan koneksi untuk kapal pengawasan Indonesia. Namun, implementasinya menghadapi beberapa tantangan regulasi.

Sebelum peluncuran Mei 2024, Starlink mengamankan izin VSAT dan ISP, namun Komdigi mewajibkan pendirian Pusat Operasi Jaringan (NOC) lokal untuk memantau layanan. Kekhawatiran muncul bahwa jaringan satelit bisa melewati gateway domestik.

Masalah lain adalah rencana roaming Jelajah yang menekankan mobilitas sebagai fitur inti. Aturan Indonesia melarang roaming di darat untuk operator broadband tetap, hanya mengizinkannya di kapal dan maksimal tujuh hari. Komdigi memperingatkan bahwa menawarkan perangkat satelit roaming untuk mobil atau penggunaan berbasis darat bisa membahayakan izin Starlink.

Badan Persaingan Usaha (KPPU) merekomendasikan pembatasan Starlink hanya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), meninggalkan area perkotaan untuk penyedia lokal. Operator berargumen ini akan melindungi investasi infrastruktur dan menjaga keseimbangan industri.

Meski demikian, Starlink tetap aktif di kota-kota, dengan 17,3% pembacaan Opensignal berasal dari area perkotaan. Ini menunjukkan permintaan melampaui mandat pedesaannya. Ekspansi Starlink ke negara lain seperti India juga menjadi perhatian dalam strategi global perusahaan.

Setahun beroperasi, Starlink telah membuktikan nilainya dalam memperluas konektivitas ke area terpencil dan kurang terlayani dimana solusi terestrial sulit menjangkau. Namun ekspansinya juga mengungkap tantangan signifikan mulai dari kemacetan jaringan yang menggerogoti performa, biaya tinggi yang membatasi aksesibilitas, hingga tekanan regulasi berkelanjutan.

Keberhasilan Starlink ke depan akan bergantung pada tiga faktor kunci: memperluas kapasitas untuk mengimbangi permintaan yang meningkat, menstabilkan performa untuk memastikan pengalaman pengguna konsisten, dan memposisikan diri sebagai teknologi pelengkap bersama FWA dan fiber, bukan kompetitor langsung. Jika tantangan ini dapat diatasi, Starlink berpotensi memainkan peran berkelanjutan dalam ekosistem digital Indonesia dan mendukung tujuan konektivitas serta inklusi digital pemerintah yang lebih luas.

Read Entire Article
Global Food