
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menegaskan bahwa pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian (KRK) hanya akan memiliki arti strategis apabila ditempatkan dalam kerangka besar demokratisasi sektor keamanan. Menurutnya, KRK tidak boleh sekadar menjadi simbol atau gimmick politik untuk meredam keresahan publik.
“Ada satu hal yang harus menjadi kerangka berpikir kita bahwa transformasi kepolisian, khususnya dalam pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian ini, hanya akan strategis jika kita meletakkan KRK dalam kerangka demokratisasi sektor keamanan,” kata Halili dalam Konferensi Pers ‘Menyikapi Rencana Presiden dalam Pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian’ pada Jumat (19/9).
Ia menekankan, komisi tersebut harus bekerja secara independen dan terbebas dari intervensi politik, baik dari pemerintah maupun kelompok kepentingan tertentu.
“Posisi strategis dari komisi ini, pertama, bahwa komisi ini harus bekerja independen, jauh dari pesanan-pesanan politik, termasuk jauh dari keinginan pemerintah untuk meletakkan politik keamanan hanya pada kehendak politik pemerintah saja,” tegasnya.
Halili juga mengingatkan agar pembentukan KRK tidak berhenti pada upaya meredakan keresahan masyarakat pasca maraknya kritik publik terhadap institusi kepolisian sejak Agustus lalu.
“Tentu kita tidak ingin bahwa komisi ini hanya menjadi simbol saja, jangka pendek untuk meredam keresahan yang sangat terbuka, itu diekspresikan oleh masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan para ahli dalam agenda reformasi kepolisian.
“Kita harus meletakkan agenda ini untuk mendengarkan sebanyak-banyaknya masyarakat sipil, sebanyak-banyaknya ahli, sebanyak-banyaknya para akademisi,” ucapnya.
“Sehingga para akademisi, para ahli, para anggota atau elemen masyarakat sipil itu bisa berkontribusi untuk memastikan bahwa kinerja Komisi Reformasi Kepolisian berada dalam track untuk agenda demokratisasi sektor keamanan, bukan sekadar sebagai agenda politik keamanan dari pemerintah atau rezim,” jelasnya.
Menurut Halili, komposisi anggota KRK harus diisi oleh pihak yang benar-benar kompeten di bidang kepolisian dan sektor keamanan.
“Jadi anggota dari Komisi Reformasi Kepolisian ini mesti mereka yang betul-betul ahli di bidang kepolisian, di bidang, di sektor keamanan saya kira yang paling pokok. Misalnya akademisi, para peneliti, elemen masyarakat sipil, kemudian Kompolnas itu juga bisa dilibatkan dalam konteks itu,” katanya.
Ia pun mengingatkan agar pemerintah tidak hanya mengisi KRK dengan tokoh agama atau elit yang populer di ruang publik tanpa kepakaran dalam sektor keamanan.
“Kita tentu saja mesti memberikan catatan bahwa Komisi Reformasi Kepolisian ini jangan hanya jadi gimmick saja, jangan hanya jadi kosmetik saja yang kemudian anggotanya misalnya hanya pemuka agama, hanya para tokoh elit yang bermain di tingkat selebritas pemberitaan, untuk kemudian menginfluence agenda-agenda politik keamanan,” tegasnya.
Selain itu, Halili menilai reformasi kepolisian tidak boleh dilihat sebagai satu-satunya agenda perubahan. Menurutnya, transformasi kementerian dan kelembagaan juga harus dilakukan di sektor-sektor lain, termasuk legislatif, kementerian, hingga penegakan hukum.
“Reformasi kepolisian di satu sisi kita lakukan, kita percepat, kita akselerasi. Tetapi di sisi lain juga mesti terjadi perbaikan kelembagaan, perbaikan kinerja kelembagaan pada sektor-sektor lain. Hanya dengan cara itu, saya kira kita bisa meletakkan harapan besar untuk mewujudkan transformasi negara bangsa ini,” pungkasnya. (P-1)