
WACANA penghapusan kuota impor untuk beberapa komoditas oleh Presiden Prabowo Subianto disebut harus ditinjau ulang. Rencana tersebut merespons rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan kebijakan tarif resiprokal atau tarif impor AS untuk Indonesia sebesar 32 persen.
Dikutip dari laman sekretariat kabinet Republik Indonesia, alasan aturan kebijakan hapus kuota impor ini untuk memudahkan pelaku usaha, menciptakan ekosistem yang mendukung penciptaan lapangan pekerjaan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Menyikapi hal tersebut, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM Hempri Suyatna, menyampaikan rencana kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang untuk mengetahui seberapa jauh dampak positif dan negatif bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di dalam negeri. Pasalnya, saat ini, mereka tengah terdampak penurunan kondisi ekonomi nasional.
Meski dalam jangka pendek, kebijakan ini akan memberikan manfaat untuk menghapus proses perburuan rente dan monopoli yang diduga sering terjadi antarimportir. Selama ini kuota-kuota impor hanya diberikan kepada pelaku-pelaku bisnis tertentu yang memiliki kedekatan dengan relasi kuasa.
Namun, dalam jangka panjang, jika penghapusan kuota impor ini dimaknai sebagai pembukaan keran impor besar-besaran, jelas ini akan mengancam eksistensi UMKM di Indonesia karena Indonesia akan dibanjiri produk-produk luar negeri.
“Yang jelas kebijakan ini akan mengancam ketahanan ekonomi pelaku UMKM,” katanya.
Menurut Hempri, kenyataan realita di lapangan saat ini masih banyak produk UMKM Indonesia yang kurang bersaing secara global. Hempri mengungkapkan, sebagai contohnya adalah implementasi Peraturan Menteri Perdagangan (Pemendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan Impor telah berimplikasi pada maraknya produk-produk impor masuk ke tanah air berdampak pada beberapa perusahaan seperti perusahaan manufaktur, teknologi dan startup yang telah melakukan PHK karena proses produksi yang dianggap kurang efisien.
Apabila kebijakan tersebut dilakukan, mau tidak mau UMKM akan terkena dampak dan dituntut untuk selalu kreatif sebagai upaya dalam mendorong daya saing produk-produk UMKM itu sendiri. Selain itu, pelaku usaha UMKM juga diharuskan membangun karakter yang tangguh, kreatif, inovatif, cerdas, mandiri, produktif dan mampu memanfaatkan peluang atau sumberdaya yang ada di sekitarnya.
Sebaliknya, pemerintah diharuskan memberikan dukungan-dukungan struktural seperti seperti kemudahan pajak, kemudahan memperoleh dana pengembangan, fasilitasi pemasaran dan promosi, fasilitas di dalam memperoleh hak cipta/hak merek dan sebagainya.
“Komitmen dari pemerintah dalam melindungi produk-produk UMKM dengan berbagai bentuk dukungan struktural sangatlah dibutuhkan,” ujarnya.
Bagi Hempri, melihat sinyal kondisi penurunan ekonomi sekarang ini, pemerintah perlu memberikan apresiasi dan perlindungan terhadap produk-produk lokal. Meningkatkan gerakan bangga dengan produk lokal memiliki peranan dalam membantu UMKM untuk terus eksis.
Selama ini, gerakan cinta produk lokal ini hanya sebatas slogan sehingga harus dilakukan dengan merubah budaya masyarakat dengan regulasi yang mampu memperkuat pasar domestik. Budaya inferior sudah menghinggapi sebagian besar masyarakat dimana mereka merasa lebih bangga menggunakan produk dari luar dibandingkan produk-produk lokal.
"Dalam konteks budaya, perlu ada upaya untuk merubah budaya inferior masyarakat,” tutup dia. (AU/H-3)