MASYARAKAT mengeluhkan tumpukan sampah yang nyaris menutupi badan jalan di Kampung Cijengkol, Desa Wangunsari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kondisi ini menyebabkan jalan menjadi licin dan menimbulkan bau tak sedap hingga viral di media sosial.
Menanggapi kondisi itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melalui UPT Kebersihan mengaku telah bertindak dengan menurunkan armada truk untuk melakukan pembersihan.
"Kami bergerak atas dasar laporan kepala desa dan kecamatan sejak hari Minggu (6/4) kemarin dan pembersihan akan dilanjutkan Senin (7/4) ini. Perkiraan sampah bisa mencapai 15 ritase dan pembersihan butuh waktu antara 4-5 hari," kata Kepala UPT Kebersihan Bandung Barat, Imam Fauzi.
Ia menerangkan, sampah di Desa Wangunsari selama ini tidak dikelola langsung oleh UPT Kebersihan melainkan dilakukan secara mandiri oleh pihak desa dan kelompok masyarakat. Namun demikian, pihaknya tetap turun tangan karena situasi sudah darurat.
"Akibat aturan baru pascalongsor TPA Sarimukti yang mewajibkan penggunaan barcode dan Surat Perintah Kerja (SPK) dalam pengangkutan, pengelola desa tidak bisa lagi membuang sampah ke TPA Sarimukti," bebernya.
Lantaran banyaknya tumpukan sampah, pihaknya akan memprioritaskan pembersihan sampah yang menutupi sebagian jalan. Untuk sementara, akses jalan ditutup demi kelancaran pengangkutan.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Wangunsari Adji Asmadi mengungkapkan, awalnya pengelolaan sampah di desa ini masih bisa dikendalikan dengan cara membuang langsung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Namun, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan volume sampah, pengelola mulai kewalahan. Terlebih sejak adanya pembatasan kuota ritase ke TPA Sarimukti, proses pembuangan menjadi terhambat dan akhirnya sampah semakin menumpuk.
"Awalnya masyarakat membuang ke TPS sementara yang dikelola swadaya. Tapi karena tidak bisa diselesaikan ke TPA, akhirnya ditimbun begitu saja. Sekarang sampah jadi menggunung dan mengganggu aktivitas warga, bahkan menutup sebagian badan jalan," kata Adji.
Sementara itu, pihak yang bertanggung jawab penanganan sampah, Cucu mengklaim, tumpukan sampah tersebut bukan karena disebabkan keterbatasan ritase pengangkutan, tapi juga minimnya kesadaran warga dalam mengelola sampah secara bertanggung jawab.
Menurut dia, setelah peristiwa longsor di TPA Sarimukti, keluar aturan baru berupa pembatasan kuota ritase pengangkutan sampah. Karena itu, pihaknya mengalami kesulitan serius dalam membuang sampah ke tempat pembuangan akhir.
"Akibat pembatasan ini, UPT Kebersihan KBB hanya diberi jatah 17 ritase per hari. Kami sebagai pengelola swadaya otomatis terdampak dan kesulitan menjadwalkan pembuangan," ungkap Cucu.
Cucu menambahkan, pengelolaan sampah di Desa Wangunsari telah berjalan selama enam tahun dilakukan secara mandiri oleh Karang Taruna dan beberapa RW melalui sistem keanggotaan. Namun, masih banyak warga tidak memahami sistem tersebut dan mereka masih membuang sampah sembarangan seolah TPS tersebut adalah fasilitas umum dari pemerintah.
"TPS ini kami yang membuat secara mandiri. Kami juga sudah buat imbauan dan surat larangan, tapi warga tetap buang di pinggir jalan. Bahkan banyak yang bukan anggota tetap buang sampah di TPS ini," tambahnya.
Selain masalah ritase, Cucu menyebut bahwa sesuai Perda Nomor 2 Tahun 2020, sampah harus melalui proses pemilahan dan pemanfaatan sebelum dibuang ke TPA. Hal ini mengakibatkan proses semakin rumit dan memperpanjang waktu pengangkutan.
"Tumpukan sampah yang kini viral di media sosial sebenarnya sudah mulai terjadi sejak sebelum bulan puasa, sebagai dampak dari aturan pascalongsor dan overload-nya TPA Sarimukti," tandasnya. (DG/E-4)