
MILITER Tiongkok memulai hari kedua latihan besar-besaran di perairan dan wilayah udara sekitar Taiwan, hari ini. Sebanyak 95 pesawat dan kapal yang dioperasikan oleh Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) terdeteksi di sekitar Taiwan antara Selasa (1/4/2025) pukul 06.00 pagi dan Rabu (2/4/2025) pukul 06.00 pagi.
Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan (MND) melaporkan rincian periode 24 jam terhadap latihan gabungan Tiongkok yang melibatkan angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara dan pasukan roketnya sebagai peringatan keras serta pencegah yang kuat terhadap pasukan separatis 'Kemerdekaan Taiwan'.
"76 pesawat PLA, termasuk 27 yang melintasi garis tengah Selat Taiwan, terdeteksi selama periode ini," demikian pernyataan MND seperti dikutip Focus Taiwan.
MND juga mengonfirmasi bahwa 15 kapal angkatan laut Tiongkok dan empat kapal pemerintah terdeteksi dalam periode 24 jam, sehingga jumlah total pesawat dan kapal menjadi 95.
“Kami memantau dengan cermat operasi Tiongkok dan mengerahkan pesawat, kapal, dan sistem rudal berbasis pantai sebagai tanggapan,” tambah pernyataan MND.
Kementerian Pertahanan juga melaporkan bahwa kapal induk Shandong milik PLA terlibat dalam operasi sekitar 220 mil laut di tenggara Taiwan pada hari itu. Antara pukul 10.00 dan 16:20 waktu setempat, 14 pesawat tempur dan helikopter Tiongkok terdeteksi di tenggara Taiwan, di luar Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan.
Kementerian itu mengecam latihan tersebut dengan menyebutnya sebagai "provokasi tidak rasional" dan berjanji untuk mempertahankan kedaulatan Taiwan.
Serangan presisi
Sementara itu, Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) mengatakan pasukan daratnya kemarin melakukan latihan tembak langsung jarak jauh di perairan Laut China Timur. Ini sesuai dengan rencana latihan "Strait Thunder-2025A".
“Latihan tersebut melibatkan serangan presisi pada target simulasi pelabuhan utama dan fasilitas energi, dan telah mencapai efek yang diinginkan,” kata Kolonel Senior Shi Yi, juru bicara komando teater tersebut, seperti dikutip dari Xinhua.
Latihan militer Komando Teater Timur PLA ini juga berfungsi sebagai hukuman tegas atas provokasi ‘kemerdekaan Taiwan’ yang mencolok dari pemerintahan Presiden Lai Ching-te. Pemimpin Taiwan Ching?te dan Partai Progresif Demokratik yang mendukungnya memiliki sikap politik berlawanan dengan Tiongkok dan menyangkal bahwa Taiwan adalah bagian dari Tiongkok.
“Latihan tersebut juga merupakan peringatan keras bagi pasukan separatis yang berusaha merusak perdamaian di Selat Taiwan, dan tindakan yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial,” ucap Zhu Fenglian, juru bicara Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara Tiongkok.
Tekad kuat
Zhu menekankan tekad yang kuat dan kemampuan yang tak tergoyahkan dari daratan untuk menyelesaikan masalah Taiwan dan mencapai reunifikasi nasional. Tiongkok Daratan tidak akan menoleransi atau memberi ruang bagi kegiatan yang mencari kemerdekaan Taiwan.
"Kemerdekaan Taiwan berarti perang, dan mengejar kemerdekaan Taiwan berarti mendorong rakyat Taiwan ke dalam situasi yang berbahaya," tambah Zhu.
PLA juga telah mengumumkan bahwa pasukannya telah mulai melakukan latihan bersama di sekitar Pulau Taiwan, mengatur pasukan darat, laut, udara, dan roket untuk mendekati pulau itu dari berbagai arah.
Sedangkan jet tempur Taiwan terlihat mendarat di pangkalan udara setelah melangsungkan misi patroli dan pengintaian. Tindakan ini merespons Kapal Penjaga Pantai Tiongkok CCG melakukan latihan di dekat sebuah pulau perairan Taiwan pada Selasa (1/4/2025).
Armada Penjaga Pantai Tiongkok CCG terlihat melakukan berbagai operasi inspeksi, penangkapan, intersepsi dan penahanan terhadap kapal-kapal yang tidak memiliki izin. Hal itu diungkapkan oleh juru bicara biro laut Tiongkok Timur CCG.
Menurut Tiongkok, Taiwan yang ada saat ini merupakan bagian dari provinsi yang ada di Tiongkok.
Latihan di perairan Taiwan merupakan tindakan nyata untuk menjalankan yuridiksi dan kendali yang sah atas pulau sesuai dengan prinsip 1 Tiongkok.
Reaksi AS
Amerika Serikat menegaskan kembali komitmennya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan menentang setiap perubahan status quo secara sepihak, termasuk dengan menggunakan kekuatan.
"Lagi-lagi, aktivitas militer agresif dan retorika Tiongkok terhadap Taiwan hanya akan menambah ketegangan dan membahayakan keamanan kawasan dan kemakmuran dunia," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce dalam pernyataannya.
"Dalam menghadapi taktik intimidasi dan perilaku destabilisasi Tiongkok, komitmen abadi AS terhadap para sekutu dan mitra kami, termasuk Taiwan, terus berlanjut," lanjut Bruce.
Latihan militer dilakukan militer Tiongkok setelah Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengatakan pada Minggu (30/3) di Jepang bahwa AS akan memastikan "penggentaran yang kredibel" di Selat Taiwan. Hegseth juga mengkritik Tiongkok dan mengatakan Jepang "sangat diperlukan" untuk mengatasi agresi Tiongkok.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Guo Jiakun mengatakan, aoal kerja sama militer dan keamanan antara AS dan Jepang, selayaknya tidak boleh menargetkan negara ketiga mana pun, atau membahayakan perdamaian dan pembangunan regional.
"Dengan menyebut Tiongkok sebagai
ancaman dan menggunakannya sebagai dalih, AS telah memicu pertentangan ideologis, serta memicu perpecahan dan konfrontasi," ucap Guo Jiakun.
Negara-negara di kawasan, ungkap Guo Jiakun, perlu tetap waspada dan waspada terhadap praktik semacam itu.
"Mengenai masalah Taiwan, kami mendesak orang-orang tertentu di AS untuk melepaskan ilusi menggunakan Taiwan untuk membendung Tiongkok, mematuhi prinsip satu Tiongkok dan tiga komunike bersama Tiongkok-AS dengan tindakan konkret, serta menghormati komitmen yang dibuat oleh AS terkait masalah Taiwan," tambah Guo Jiakun.
Sebelum muncul ketegangan di Perairan Taiwan, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi meminta pihak-pihak tertentu di Jepang berhenti untuk mendukung kemerdekaan Taiwan pada awal Maret lalu.
"Prinsip 'Satu Tiongkok' adalah landasan politik bagi hubungan Tiongkok-Jepang. Sudah 80 tahun tahun telah berlalu sejak Taiwan kembali ke Tiongkok, tapi masih ada beberapa individu di Jepang yang masih berpikir ada dalam bayang-bayang dengan apa yang disebut pasukan 'kemerdekaan Taiwan'," kata Wang Yi.
Jepang diketahui pernah menduduki Taiwan sejak berakhirnya perang Tiongkok-Jepang pertama pada 1895, tetapi mundur setelah kalah dalam perang Tiongkok-Jepang pada 1945 yaitu ketika pulau tersebut kembali ke Tiongkok yang saat itu dikuasai Kuomintang (KMT) namun ketika perang saudara muncul mengakibatkan KMT melarikan diri ke Taiwan.
Kemudian pada pertengahan Februari 2025 lalu, Jepang membuat perubahan sistem pendaftaran keluarga yang mengizinkan individu dari Taiwan untuk mencantumkan nama "Taiwan", bukan "Tiongkok" sebagai tempat asal mereka. Perubahan tersebut akan berlaku pada Mei 2025.
"Hentikan propaganda bahwa 'darurat Taiwan adalah darurat Jepang.'. Sebenarnya, memprovokasi masalah atas nama Taiwan berarti mengundang masalah bagi Jepang," tegas Wang Yi. (Anadolu/I-1)