
Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek daring (ojol) 8 hingga 15% dinilai belum menjawab persoalan utama dalam ekosistem transportasi digital. Kebijakan itu disebut hanya memberi tambahan penghasilan yang tidak signifikan bagi pengemudi, namun berisiko membebani penumpang dan secara otomatis menguntungkan aplikator.
Simulasi Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan, dengan asumsi 10 perjalanan per hari masing-masing sejauh 5 kilometer dan tarif dasar Rp2.500 per kilometer, pengemudi ojol memeroleh pendapatan kotor sekitar Rp125.000 per hari. Namun, dengan adanya potongan 20% dari aplikator, penghasilan bersih yang dibawa pulang pengemudi hanya sekitar Rp100.000 per hari.
Ketika pemerintah berencana menaikkan tarif ojol sebesar 8 hingga 15%, studi itu menunjukkan tarif per kilometer akan naik menjadi sekitar Rp2.700 hingga Rp2.875. Jika dihitung ulang, dengan jarak tempuh yang sama (50 km), pendapatan kotor harian akan meningkat menjadi Rp135.000 pada skenario kenaikan 8%, dan Rp143.750 pada skenario kenaikan 15%.
Setelah dipotong 20% oleh aplikator, pengemudi akan membawa pulang sekitar Rp108.000 hingga Rp115.000 per hari. Dengan demikian kenaikan pendapatan bersih harian pengemudi ojol hanya berkisar antara Rp8.000 hingga Rp15.000 saja.
"Dalam kondisi sosial-ekonomi yang semakin sulit harga kebutuhan pokok naik, biaya hidup di kota besar terus membengkak tambahan pendapatan sebesar Rp8.000-Rp15.000 per hari dari kenaikan tarif ojol memang terasa tidak signifikan," kata Muhammad Anwar, Peneliti IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (1/7)
Anwar menambahkan, bagi pengemudi yang harus menanggung sendiri biaya operasional harian seperti bensin, servis motor, kuota internet, dan makan, tambahan tersebut bisa langsung tergerus tanpa terasa menjadi peningkatan kesejahteraan yang nyata.
Lebih jauh lagi, kebijakan kenaikan tarif ini justru bisa dilihat sebagai pengalihan beban dari aplikator ke konsumen, tanpa menyentuh akar tuntutan pengemudi yang sejak lama meminta penurunan potongan komisi, sistem insentif yang transparan, serta perlindungan kerja layaknya sektor formal.
"Alih-alih mengatur ulang pembagian hasil atau memberlakukan batas maksimal potongan aplikator, pemerintah justru menaikkan tarif, yang pada akhirnya juga menguntungkan aplikator, karena potongan 20 persen mereka tetap dihitung dari tarif yang kini lebih tinggi," ujar Anwar.
Dia menjelaskan, ketika tarif naik, pengemudi mendapat tambahan, tetapi aplikator pun kecipratan penghasilan tambahan secara otomatis. Misalnya, dari total pendapatan kotor Rp135.000 (tarif naik 8%), aplikator langsung mendapatkan Rp27.000 (20% potongan), lebih besar dari sebelumnya (Rp25.000).
Di sisi lain, kenaikan tarif ojek online (ojol) jelas akan menambah beban penumpang.
"Ketika tarif naik, masyarakat sebenarnya berada dalam posisi sulit yaitu mereka terpaksa membayar lebih mahal, karena tidak ada pilihan tranportasi yang lebih baik," ucap Anwar.
Ia menyebut kebijakan kenaikan tarif ojol ini jelas tidak menyentuh akar persoalan utama, yakni relasi kuasa yang timpang antara aplikator dan pengemudi. Dalam struktur kerja platform digital, pengemudi ditempatkan sebagai mitra secara formal, namun dalam praktiknya mereka tidak memiliki posisi tawar yang memadai untuk menentukan skema kerja, insentif, hingga potongan pendapatan. (H-4)