
MENGEMBALIKAN ruh pendidikan Indonesia sebagai benteng moral di tengah arus globalisasi dan disrupsi digital dinilai penting. Sebabnya, sistem global saat ini dikuasai kepentingan negara-negara adidaya.
“Kita menghadapi dunia yang bukan hanya berkompetisi bidang ekonomi dan teknologi juga ideologi, moral, dan identitas manusia,” ujar Irjen Andry Wibowo dalam pidato ilmiyahnya pada pelaksanaan wisuda Universitas Ibnu Chaldun (UIC) tahun akademik 2024/2025 di Jakarta, dikutip Kamis (23/10).
Ia menilai sistem global saat ini dikuasai kepentingan negara-negara adidaya, sementara Indonesia kerap terjebak sebagai pasar, bukan subjek yang berdaulat. “Dunia dewasa ini tidak perlu lagi berperang untuk menaklukkan bangsa lain, cukup dengan penetrasi budaya dan teknologi,” kata Andry.
Menurutnya, tantangan terbesar bangsa bukan lagi penjajahan fisik, melainkan imperialisme budaya, kebodohan digital, dan kemiskinan moral. Karena itu, pendidikan harus kembali menjadi mercusuar nilai dan moral bangsa, bukan sekadar pabrik nilai akademik.
Andry menegaskan, Pancasila bukanlah hafalan atau simbol formalitas, melainkan way of life yang harus dihidupkan di seluruh sendi pendidikan. “Para pendiri bangsa menulis Pancasila bukan sebagai dokumen politik, tapi manifesto moral umat manusia Indonesia,” tegasnya.
Ia menyoroti pentingnya reorientasi kurikulum agar nilai-nilai Pancasila tertanam dalam setiap disiplin ilmu. “Guru harus menjadi teladan moral, bukan sekadar penyampai kurikulum administratif. Pendidikan sejati membentuk karakter, bukan hanya kompetensi,” ujarnya.
Dalam era digital, Andry mengajak generasi muda menghidupkan tiga bentuk patriotisme baru: digital, intelektual, dan profesional.
“Patriotisme digital berarti melawan hoaks dan ujaran kebencian, patriotisme intelektual berjuang dengan ilmu dan nurani,sedangkan patriotisme profesional berarti bekerja dengan integritas dan tanggung jawab,” tegasnya.
Ia menegaskan, Tidak ada bentuk cinta tanah air yang lebih tinggi daripada bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Andry juga menolak paradigma profesionalisme kapitalistik yang hanya menilai manusia dari produktivitas dan keuntungan. “Bangsa ini tidak membutuhkan generasi penghafal teori, tapi generasi pembangun peradaban,” ujarnya.
Profesionalisme berbasis Pancasila, tambahnya, adalah bekerja sebagai ibadah, berkompeten tanpa kesombongan, dan berprestasi tanpa menginjak yang lain. Menutup orasi ilmiahnya, Andry menyerukan agar pendidikan nasional menjadi pusat perlawanan terhadap apatisme, hedonisme, dan korupsi moral.
“Bangsa ini tidak akan hilang karena perang, tetapi akan hancur jika kehilangan nilai-nilainya. Jangan biarkan Pancasila menjadi museum ideologi, hidupkan ia dalam ruang kelas, birokrasi, dan hati nurani kita,” tutupnya.
Rektor UIC Rahmah Marsinah menyatakan bahwa semangat Dikti Berdampak diwujudkan dengan memperkuat peran perguruan tinggi sebagai agen perubahan moral, sosial, dan intelektual. “Wisuda bukan akhir, tetapi awal kontribusi nyata bagi bangsa,” ujarnya.
Rahmah juga menjelaskan UIC telah melakukan transformasi organisasi berdasarkan Statuta 2025 dengan mengonsolidasikan sejumlah fakultas untuk memperkuat tata kelola dan daya saing akademik. Langkah ini merupakan implementasi nyata semangat Dikti Berdampak, di mana perguruan tinggi diarahkan untuk lebih efisien, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Acara wisuda yang di gelar di Gedung Ardhya Garini, Halim Jakarta Timur ini diikuti 369 wisudawan Strata 1 dan Magister. Turut dihadiri guru besar dan orang tua wisudawan, suasana khidmat menyertai penyerahan ijazah kepada ratusan lulusan dari berbagai fakultasatr, termasuk Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Hukum dan Humaniora, Fakultas Agama Islam, Fakultas Sain dan Ilmu Kesehahatan serta Sekolah Pascasarjana. (Bay/P-3)