
DUGAAN kekerasan yang dialami jurnalis saat peliputan agenda Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Semarang, harus terus diusut lewat jalur pidana, meski terduga pelaku sudah meminta maaf. Kekerasan itu diduga dilakukan oleh tim pengamanan Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa, terhadap jurnalis Kantor Berita Antara, pada Sabtu (5/4).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak agar perdamaian tidak dijadikan sarana pelanggengan impunitas atas kekerasan yang dilakukan aparat terhadap jurnalis.
Peneliti ICJR Iqbal Muharam mengatakan, intimidasi yang dilakukan Endry mencermintkan rendahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap tugas pers dan perlindungannya sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Aturan itu secara jelas mengatur terkait hukuman bagi setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi jurnalis saat menjalani tugas jurnalistik. Tindakan tersebut juga mencerminkan masih kuatnya pendekatan berbasis kekerasan dalam merespons aktivitas jurnalistik.
"Pasal 8 UU pers seharusnya dijalankan setiap aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi pewarta yang menjalankan tugas profesi jurnalis, bukan justru menjadi pelaku," terang Iqbal lewat keterangan tertulis, Rabu (9/5).
Meskipun Endry sudah meminta maaf kepada jurnalis yang bersangkutan, LBH Pers dan ICJR mengatakan proses etik dan disiplin harus tetap dijalankan sesuai dengan Peraturan Kepolisian No 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur kewajiban anggota Polri untuk bersikap humanis, profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Selain itu, kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggaran serius yang wajib ditindaklanjuti tidak hanya dengan sanksi etik yang tegas, tindakan pelaku juga harus diproses secara hukum pidana. Pelanggaran atas masalah ini dapat diusut lewat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan, tindakan pemukulan terhadap jurnalis dapat dianggap sebagai penganiayaan karena menyebabkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.
"Selain itu, Pasal 335 KUHP terkait ancaman kekerasan juga dapat digunakan, ancaman verbal yang dilontarkan kepada para jurnalis bisa dikategorikan sebagai upaya memaksa orang lain melalui ancaman kekerasan," terang Iqbal.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi ketentuan Pasal 52 KUHP, yakni jika kejahatan dilakukan oleh seorang pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya (dalam hal ini seorang anggota polisi) hukuman dapat diperberat.
"Tindakan pelaku bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap pelaksanaan hak pers untuk mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Polri harus melakukan menjalankan penegakan hukum secara profesional dan transparan," jelas Iqbal.
Sebelumnya, peristiwa intimidasi itu terjadi pada saat Kapolri sedang menyapa calon penumpang kereta api. Saat itu, Endry meminta para jurnalis untuk menjauh dengan cara mendorong cukup kasar. Endry juga melakukan tindakan fisik, yaitu memukul bagian kepala salah satu jurnalis disertai dengan kalimat, 'Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.' (Tri/P-2)