Kebijakan Dedi Mulyadi Rombel 50 Siswa Bertentangan dengan Aturan Pusat

6 hours ago 2
Kebijakan Dedi Mulyadi Rombel 50 Siswa Bertentangan dengan Aturan Pusat Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.(MI/ Bayu Anggoro)

PEMERHATI kebijakan publik pendidikan sekaligus Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Barat, Saepuloh mengkritik kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait rombongan belajar (rombel) 50 siswa. Kebijakan Dedi bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengatur jumlah maksimal siswa per rombongan belajar jenjang SMA/SMK adalah 36 orang.

“Sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pun telah mengunci algoritmanya agar tidak menerima input siswa ke-37 dan seterusnya.  Artinya, jika ada 50 siswa dalam satu kelas seperti diamanatkan dalam SK Gubernur tersebut, maka 14 siswa terakhir tidak bisa diinput ke sistem nasional pendidikan,” ungkap Saepuloh, Jumat (11/7/2025).

Jika rombel 50 siswa tetap dijalankan maka 14 siswa terakhir dapat merugi.  “Mereka tidak akan mendapatkan NISN (Nomor Induk Siswa Nasional), tidak bisa ikut AN/UN (Asesmen Nasional/ Ujian Nasional), tidak menerima ijazah resmi, tidak berhak atas dana BOS atau beasiswa, dan secara administratif dianggap tidak sekolah,” tambahnya.

Sebab itu, ia menilai bahwa kebijakan 50 siswa dalam satu kelas bukan sekadar kekeliruan teknis, tapi sebuah pelanggaran terhadap hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan yang sah dan diakui negara.

Potensi Maladministrasi

SK Gubernur Jabar tersebut juga dikatakannya berpotensi menimbulkan temuan audit dan dugaan maladministrasi. Dalam konteks hukum administrasi negara, kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan regulasi pusat.

“Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa Peraturan Menteri lebih tinggi kedudukannya dibanding Keputusan Gubernur. Jika sekolah memaksakan menjalankan SK ini, maka kepala sekolah dan operator Dapodik akan berada dalam dilema serius yaitu mengikuti perintah pimpinan daerah atau tunduk pada sistem nasional,” ujar Saepuloh.

Solusinya?

Dia merasa bahwa solusi memperluas akses pendidikan harus dilakukan tanpa melanggar aturan main yang sah. “Jika memang ingin menampung lebih banyak siswa, mengapa tidak membentuk rombongan belajar paralel? Atau menggunakan pendekatan shift? Atau membuka jalur SMA Terbuka?Sekolah swasta pun seharusnya dilibatkan dalam skema PAPS ini. Selama ini mereka memiliki daya tampung lebih longgar, namun sering kali diabaikan dalam alokasi afirmasi anggaran,” urainya.

Saepuloh menekankan bahwa tidak bisa membiarkan kebijakan publik berjalan atas dasar niat baik semata. Di dunia birokrasi dan hukum, niat baik yang dieksekusi tanpa regulasi yang tepat dapat menimbulkan kerugian lebih besar. Termasuk hilangnya hak legal ribuan anak hanya karena statusnya tak tercatat di Dapodik.

“Saya menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera merevisi SK ini dan menyelaraskan dengan ketentuan nasional. Kebijakan pendidikan harus adil, inklusif, dan legal secara administratif,” pungkasnya. (M-1)

Read Entire Article
Global Food