
PENDIDIKAN dipercaya sebagai cara paling baik untuk memupuk dan mengembangkan pengetahuan demi kehidupan yang lebih baik. Namun, sebagai sebuah proses, pendidikan sering diukur melalui cara bagaimana membuat mereka yang belajar menjadi pintar secara akademik dan melupakan aspek kesehatan mental.
Jika sebelumnya kurang diperhatikan, dampak perkembangan teknologi yang cepat dan masif serta pandemi covid-19 mendorong isu kesehatan mental lebih serius untuk diperbincangkan dalam ranah pendidikan, terutama saat gelagat kecemasan (anxious), stres (stress), dan depresi (depression) semakin mudah ditemukan dan menjadi bagian dari permasalahan kehidupan di kalangan usia muda/remaja.
MASA KANAK-KANAK YANG BERUBAH
Dalam bukunya, The Anxious Generation (2024), Jonathan Haidts menyajikan fakta yang tidak mengenakkan: bahwa terdapat kenaikan signifikan masalah kesehatan mental di kalangan remaja pada awal 2010-an yang disebabkan perubahan besar pada masa kanak-kanak (great rewiring of childhood).
Jika mengutip data US National Survey on Drug Use and Health, persentase remaja di Amerika Serikat yang pernah mengalami depresi antara 2004 dan 2020 menunjukkan grafik yang meningkat drastis. Itu disertai catatan, periode 2010-2015 merupakan periode the great rewiring, periode terjadinya perubahan besar dan cepat dari masa kanak-kanak yang berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Perubahan itu terutama disebabkan berkurangnya masa kanak-kanak yang berbasis pada waktu bermain (play-based child), dan makin menguatnya masa kanak-kanak yang berbasis penggunaan telepon dan teknologi (phone-based childhood).
Perubahan di atas berpengaruh besar terhadap kehidupan anak dan remaja. Berkurangnya masa kanak-kanak yang berbasis pada waktu bermain dan meningkatnya masa kanak-kanak yang bergantung pada teknologi, misalnya, dianggap mengurangi peluang anak dan remaja untuk terlibat dalam berbagai aktivitas mandiri tanpa pengawasan terus-menerus dari orang dewasa, yang dianggap sebagai cara dan proses baik untuk menumbuhkan resiliensi dan keterampilan dan kemampuan untuk mengatasi masalah secara mandiri.
Sementara itu, penetrasi teknologi melalui penggunaan perangkat elektronik seperti telepon pintar (smartphone) dan media sosial yang memiliki banyak kegunaan dan keuntungan akan berbagai kemudahan yang dihasilkan ternyata juga memiliki akibat yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Deprivasi sosial, gangguan tidur, kesulitan fokus/perhatian, dan kecanduan (gawai dan media sosial) ialah beberapa hal yang kemudian diakui muncul sebagai bagian dari dampak buruk penggunaan teknologi di kalangan remaja.
Dampak buruk itu lebih banyak dialami remaja perempuan jika dibandingkan dengan remaja laki-laki. Di kalangan remaja perempuan, dampak buruk berupa tekanan sosial dan mental yang terkait dengan persoalan kecantikan, status sosial, dan meningkatnya kerentanan terhadap perundungan atau pelecehan di dunia maya.
Di kalangan remaja laki-laki, dampak buruk terkait dengan permainan online (online gaming) dan meningkatnya kecanduan pornografi. Dampak buruk pada kedua kelompok remaja berdasarkan gender itu di antaranya mengakibatkan sikap menarik diri dari interaksi dan hubungan dalam dunia nyata.
Perubahan masa kanak-kanak dari berbagai aktivitas nyata dan bersifat fisik menjadi aktivitas berbasis teknologi juga diperburuk kecenderungan anak-anak dan remaja mengalami proteksi yang berlebihan di dunia nyata, sementara pada saat yang sama, justru mereka tidak terlindungi dalam dunia maya. Haidts memercayai kedua kecenderungan itu sebagai alasan utama generasi yang lahir setelah 1995 (atau sebagian orang mengenal sebagai gen Z) menjadi generasi yang penuh kecemasan (anxious generation).
Data yang disajikan Haidts tidak terlalu berbeda dengan data Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (INAMHS) 2022. Dalam survei tersebut beberapa temuan yang dihasilkan cukup mengejutkan. Satu dari tiga remaja (34,9% atau sekitar 15 juta remaja) di Indonesia memiliki satu masalah kesehatan mental. Satu dari 20 remaja (5,5% atau sekitar 2.45 juta remaja) Indonesia memiliki satu gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Seperti remaja di Amerika Serikat, gangguan cemas (anxiety) merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami remaja di Indonesia.
AGENDA BERSAMA
Setelah melihat berbagai data dan fakta di atas, apa yang harus dilakukan? Menyalahkan penggunaan teknologi semata juga bukan tindakan yang tepat. Teknologi juga terbukti menghadirkan kemudahan dan manfaat dalam kehidupan manusia.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja juga bukan merupakan isu yang mudah diatasi. Media sosial dalam derajat tertentu ialah cara para remaja untuk menghadapi kesulitan mereka. Dengan kata lain, kehadiran teknologi dalam kehidupan remaja ialah sebuah keniscayaan dan hampir tak terhindarkan.
Sebagai sebuah persoalan kesehatan mental, kecemasan, depresi, dan stres di kalangan remaja ialah tanggung jawab bersama. Itu persoalan yang perlu diletakkan dalam arus utama diskursus pendidikan. Dibutuhkan komitmen dan aksi bersama di tingkat pembuatan kebijakan penggunaan teknologi di kalangan remaja, membangun dan mengampanyekan kesadaran akan risiko penggunaan teknologi di kalangan remaja, juga berbagai perubahan dan praktik baik yang dapat dilakukan di sekolah.
Hal tersebut meliputi berbagai hal yang dapat dilakukan bersama di sekolah dan di rumah, seperti menyepakati usia untuk mengakses teknologi (telepon pintar, media sosial, dll), mempromosikan sekolah bebas gawai, menggalakkan lagi masa kanak-kanak berbasis bermain yang mendorong anak-anak atau remaja mendapatkan pengalaman dari dunia yang nyata.
Di sekolah dan di rumah, berbagai upaya di atas dapat dimulai dengan mengampanyekan penggunaan telepon kembali untuk kebutuhan dasar berkomunikasi dan mengurangi penggunaannya untuk media sosial (salah satunya ialah kampanye menggunaan telepon zadul/dumb phone, bukan telepon pintar).
Juga dapat disepakati aturan penggunaan gawai di kalangan guru dan murid terkait dengan usia (kapan dapat mendapatkan akses kepada telepon pintar atau memiliki akun media sosial), waktu (penetapan waktu penggunaan teknologi/screen time), dan tata krama, misalnya guru dapat menjadi contoh dengan tidak sibuk bermedia sosial atau berkirim pesan saat di dalam kelas, atau membiasakan meminta izin di depan kelas jika harus menerima panggilan atau menjawab pesan penting, atau bahkan sepenuhnya mematikan gawai yang dimiliki saat mengajar, kecuali gawai tersebut ialah bagian dari perlengkapan pembelajaran.
Perhatian lebih serius pada isu kesehatan mental dalam pendidikan, terutama terkait dengan meningkatnya kecemasan akibat penggunaan teknologi yang berlebihan di kalangan remaja, memperbesar peluang bagi hadirnya kembali masa kanak-kanak yang berbasis bermain. Dengan hal itu juga, merumuskan perlindungan yang lebih memadai untuk anak-anak dan remaja di dunia maya mungkin dapat menjadi titik awal untuk mendorong munculnya generasi emas dan mengurangi peluang lahirnya generasi cemas.