
PEMERINTAHAN Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi menaikkan tarif impor terhadap barang dari 22 negara.
Kebijakan ini diumumkan dalam dua tahap, 14 negara diumumkan pada Senin waktu setempat dan delapan negara sisanya diumumkan pada Rabu dan Kamis (7-9 Juli) waktu setempat.
Tarif yang dikenakan bervariasi antara 20% hingga 50%. Indonesia termasuk dalam daftar tersebut, dengan tarif tetap sebesar 32%, sebagaimana juga diberlakukan pada April 2025 lalu.
Langkah ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus. Namun, Trump menyampaikan bahwa negosiasi tetap terbuka dengan syarat negara-negara yang terdampak bersedia berinvestasi atau membangun pabrik di negaranya.
Daftar Negara Terdampak dan Perbandingan Tarif
Berikut adalah perbandingan tarif baru yang diumumkan oleh Trump pada Juli 2025 dibandingkan dengan tarif sebelumnya pada April 2025, seperti dikutip CNBC News, Jumat (11/7).
Brasil: 50% (naik dari 10%)
Laos: 40% (turun dari 48%)
Myanmar: 40% (turun dari 44%)
Kamboja: 36% (turun dari 49%)
Thailand: 36% (tetap)
Bangladesh: 35% (turun dari 37%)
Serbia: 35% (turun dari 37%)
Indonesia: 32% (tetap)
Aljazair: 30% (tetap)
Bosnia-Herzegovina: 30% (turun dari 35%)
Irak: 30% (turun dari 39%)
Libya: 30% (turun dari 31%)
Sri Lanka: 30% (turun dari 44%)
Afrika Selatan: 30% (tetap)
Brunei Darussalam: 25% (naik dari 24%)
Jepang: 25% (naik dari 24%)
Kazakhstan: 25% (turun dari 27%)
Malaysia: 25% (naik dari 24%)
Moldova: 25% (turun dari 31%)
Korea Selatan: 25% (tetap)
Tunisia: 25% (turun dari 28%)
Filipina: 20% (naik dari 17%)
Penjelasan Trump dan Kontroversi Defisit Perdagangan
Dalam surat yang dikirimkan ke masing-masing pemimpin negara terkait, Trump menjelaskan bahwa tarif yang dikenakan masih “jauh lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk menghilangkan disparitas Defisit Perdagangan yang kami miliki dengan negara Anda”.
Trump selama ini secara konsisten menyatakan bahwa defisit perdagangan adalah bukti bahwa AS dirugikan dalam hubungan dagangnya. Namun, banyak ekonom dan pakar kebijakan perdagangan tidak sepakat dengan pandangan ini.
Mereka menilai bahwa defisit perdagangan tidak selalu mencerminkan ketimpangan atau eksploitasi, melainkan bisa mencerminkan preferensi konsumsi dan perbedaan struktur ekonomi antara negara.
Langkah ini dipandang sebagai bagian dari strategi proteksionis Trump yang kembali menonjol menjelang akhir masa jabatannya, dan diprediksi akan berdampak pada hubungan dagang bilateral dan stabilitas perdagangan global. (Fer/I-1)