Benarkah Aroma Tubuh Pasangan Bisa Mengurangi Stres? Ini Penjelasannya

2 hours ago 1
Benarkah Aroma Tubuh Pasangan Bisa Mengurangi Stres? Ini Penjelasannya Aroma tubuh pasangan bisa menurunkan kadar stress.(Freepik)

DALAM hubungan romantis, pasangan sering menjadi tempat sandaran dalam banyak hal. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial yang positif bisa sama pentingnya dengan pola hidup sehat dalam menjaga kesejahteraan. Dukungan emosional bukan hanya menyehatkan secara mental maupun fisik, tapi juga membantu seseorang lebih tangguh menghadapi stres.

Bentuk dukungan itu beragam: berpegangan tangan, berpelukan, sentuhan kecil penuh makna, atau sekadar kata-kata penyemangat. Bahkan saat pasangan tidak hadir secara fisik, karena jarak, kesibukan, atau kehilangan, orang kerap mencari penghiburan lewat kenangan. Hal sederhana ini terbukti dapat meredakan rasa sakit emosional.

Aroma Tubuh yang Terabaikan

Selain visual dan suara, ada satu elemen yang sering luput: bau tubuh yang familiar. Banyak orang pernah mengalami momen di mana aroma tertentu membangkitkan kenangan kuat. Pertanyaannya, apakah aroma pasangan bisa membantu mengendalikan stres?

Sejumlah studi menunjukkan bahwa mencium aroma orang tercinta membawa manfaat psikologis. Penelitian tahun 2006 misalnya, menemukan bahwa 80% perempuan dan 50% laki-laki sengaja mencium pakaian bekas pakai pasangan saat berjauhan. Hasilnya? Rasa nyaman meningkat, seolah kehadiran pasangan terasa lebih dekat.

Biokimia di Balik Aroma

Para peneliti menduga aroma orang terkasih dapat memicu perubahan biokimia, termasuk menurunkan kadar kortisol—hormon yang erat kaitannya dengan stres. Studi pada hewan mendukung temuan ini: tikus mengalami penurunan stres saat mencium aroma tikus yang dikenalnya.

Fenomena serupa juga terlihat pada bayi manusia. Bayi lebih tenang ketika mengenali aroma ASI ibunya—tangisan berkurang, rewel mereda, dan kadar kortisol ikut turun.

Apakah Berlaku pada Orang Dewasa?

Pertanyaan berikutnya: apakah efek ini juga terjadi pada orang dewasa?

Penelitian terbaru yang terbit di Journal of Personality and Social Psychology mencoba menjawabnya. Marlise K. Hofer dari University of British Columbia bersama timnya melibatkan 96 pasangan jangka panjang.

Dalam studi ini, para pria diminta menjadi “penyumbang aroma.” Mereka mengenakan kaus putih selama 24 jam sesuai instruksi peneliti, tanpa tambahan pewangi seperti parfum, rokok, atau makanan beraroma tajam. Kaus kemudian disimpan dalam kondisi beku agar aromanya tetap terjaga.

Para wanita kemudian mengikuti serangkaian tahap uji:

  • Mencium kaus pasangan, kaus pria asing, atau kaus baru yang belum pernah dipakai.
  • Mengisi kuesioner tingkat stres.
  • Memberikan sampel saliva untuk mengukur kadar kortisol.
  • Menghadapi wawancara kerja simulasi yang dirancang penuh tekanan.

Hasil Penelitian

Hasilnya menarik: wanita yang mencium aroma pasangannya melaporkan tingkat stres jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang mencium aroma pria asing atau kaus baru. Efek paling kuat muncul sebelum wawancara (fase antisipasi) dan setelah wawancara (fase pemulihan).

Efek “Stranger Danger”

Pengukuran kortisol juga menunjukkan hasil mengejutkan. Wanita yang mencium aroma pria asing justru mengalami peningkatan stres lebih tinggi. Peneliti menyebutnya efek “stranger danger.”

Meski demikian, tidak semua peserta mampu mengenali aroma pasangan dengan tepat. Hanya 63% wanita yang berhasil mengidentifikasi aroma pasangannya sendiri. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa data kortisol tidak selalu sejalan dengan persepsi subjektif terhadap stres.

Catatan Lanjutan

Hofer dan timnya menekankan perlunya penelitian lanjutan untuk melihat apakah hasil serupa juga berlaku pada laki-laki atau dalam konteks hubungan lain. Selain itu, perlu diteliti lebih jauh apakah efek aroma tetap konsisten pada fase siklus menstruasi yang berbeda.

Kesimpulan:

Aroma tubuh pasangan bukan hanya sekadar wangi yang akrab. Ia bisa menjadi “penawar alami” yang menenangkan, menurunkan stres, dan mempererat kedekatan emosional. Meski masih perlu banyak penelitian lanjutan, temuan ini mengingatkan kita bahwa keintiman tidak hanya hadir lewat tatapan atau sentuhan, tetapi juga lewat indra penciuman. (Psychology Today/Z-10)

Read Entire Article
Global Food