
AMERIKA Serikat (AS) kembali menggunakan hak vetonya dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menggagalkan resolusi terkait gencatan senjata di Jalur Gaza, Palestina.
Pemungutan suara pada Kamis (18/9) membahas rancangan resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera, permanen dan tanpa syarat, serta menuntut pembebasan para sandera secara cepat. Dari 15 anggota DK PBB, 14 negara mendukung, tetapi resolusi tetap gagal karena veto Washington.
Keputusan tersebut memicu gelombang kritik dari berbagai pihak. Ketua Pusat Studi AS Universitas Indonesia (UI) Prof Suzie Sudarman menilai dukungan AS terhadap Israel tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang politik dan budaya negara tersebut.
"Dukungan pada Zionisme pertama kali muncul karena mereka rasis dan antisemitik. Jadi andaikata negara Israel terwujud dengan sempurna diharapkan orang-orang Yahudi AS akan berbondong-bondong pindah ke negara Israel dan mereka meninggalkan Amerika Serikat," kata Prof Suzie dihubungi Media Indonesia, Jumat (19/9).
Menurutnya, para politisi AS yang mengaku liberal justru memperlihatkan sikap rasis. Dukungan terhadap proyek Zionisme, kata dia, sengaja dilakukan agar orang Yahudi AS memiliki tujuan lain di luar negeri.
Dia juga mengaitkan hal itu dengan pandangan Samuel Huntington dalam bukunya Who Are We? yang menyoroti kekhawatiran elite WASP (White Anglo Saxon Protestant). "Kalau budaya WASP lebur dalam multikulturalisme yang dicita-citakan para pemikiran Yahudi Amerika, budaya Amerika akan bertransformasi dan bukan lagi keunggulan kaum WASP," tambah Prof Suzie.
Reformasi PBB dan Jalan Buntu di DK PBB
Dosen senior di Departemen Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu menegaskan, selama reformasi PBB belum dilakukan, sistem hak veto lima negara anggota tetap akan menghambat solusi atas konflik Israel-Palestina.
"Selama Reformasi PBB tidak terwujud, posisi negara veto power yakni lima negara dengan posisi memberi apapun yang diputuskan 15 negara anggota DK PBB maka akan tidak berhasil mewujudkan two states solution," ujarnya.
Boikot sebagai Tekanan Internasional
Terkait langkah yang bisa dilakukan komunitas internasional, Suzie menilai boikot perdagangan terhadap AS dapat menjadi opsi tekanan.
"Yang harus dilakukan adalah semua negara pembela kemerdekaan Palestina untuk melobi secara keras dan memboikot perdagangan dengan Amerika Serikat barulah terasa sanksi dunia. Karena kehidupan perdagangan adalah andalan Amerika Serikat," tegasnya.
Dia menambahkan boikot harus dilakukan secara menyeluruh, meski peluang keberhasilan dianggap kecil.
"Serasa tujuan ini sangat mustahil. Dan untuk mengirim peace keepers ke wilayah konflik juga tidak mungkin dilakukan karena butuh dukungan DK PBB. Tampak ada kebuntuan solusi kecuali semua mau sedikit dirugikan karena tidak berdagang dengan Amerika Serikat," pungkas Prof Suzie
Meski tak dipungkiri bahwa nasib perekonomian dunia memang sangat ditentukan oleh perdagangan dengan Amerika Serikat. (I-2)