Selular.ID – Ketegangan politik antara AS – China yang berujung pada perang dagang, seolah tidak cukup kuat mengggoyang kinerja Qualcomm.
Raksasa chipset smartphone itu, mampu mempertahankan kinerja, di tengah badai yang memporak-porandakan banyak entitas bisnis.
Perusahaan baru saja mengumumkan kinerja sepanjang Q3-2025. Dari paparan Presiden dan CEO, Cristiano Amon, Qualcomm tampaknya telah mencapai titik puncak yang menghindari gejolak geopolitik untuk saat ini, meskipun memiliki eksposur yang cukup dominan ke China.
Raksasa teknologi yang berbasis di San Diego, California itu, melaporkan pertumbuhan pendapatan yang kuat untuk tahun fiskal penuh yang berakhir pada 28 September 2025.
Tercatat total pendapatan meningkat 13% menjadi $44 miliar pada tahun fiskal 2025, didorong oleh penjualan yang lebih baik dari perkiraan dalam bisnis chip QCT di seluruh segmen ponsel, otomotif, dan Internet of Things (IoT) pada kuartal keempat.
Untuk diketahui, QCT adalah akronim dari Qualcomm CDMA Technologies, yang merupakan bisnis semikonduktor dan divisi terbesar dari perusahaan.
QCT adalah divisi yang mengembangkan chipset dan solusi perangkat lunak (seperti prosesor Snapdragon yang populer) yang digunakan di sebagian besar ponsel pintar Android.
Amon mengungkapkan bahwa pertumbuhan pendapatan QCT pada kuartal keempat didorong oleh permintaan ponsel Android premium yang ditenagai oleh prosesor Snapdragon.
Begitu pun dengan sasis digital Snapdragon untuk kendaraan dan produk IoT di seluruh industri, titik akses Wi-Fi 7, jaringan nirkabel tetap 5G, dan kacamata pintar.
Pendapatan dalam bisnis lisensi QCL yang lebih kecil namun bermargin lebih tinggi stagnan untuk tahun ini di angka $5,5 miliar, setelah penurunan 7% pada kuartal keempat.
Namun, meskipun bisnis intinya berjalan lancar dan sedang merencanakan pertumbuhan di masa depan dari pusat data AI, Qualcomm sangat terekspos ke pasar China.
Alhasil, perusahaan rentan terhadap sengketa perdagangan yang sedang berlangsung, yang seringkali tak terduga, antara kedua negara itu.
Hal ini tentu saja bukan hal baru, dan dokumen peraturan perusahaan memperingatkan tentang risiko tersebut.
Dokumen 10-K terbarunya menyatakan: “Sebagian besar bisnis kami terkonsentrasi di China, dan risiko konsentrasi tersebut diperburuk oleh ketegangan perdagangan dan keamanan nasional AS – China”.
Qualcomm membagi pendapatan berdasarkan negara berdasarkan lokasi kantor pusat pelanggan, yang tidak memberikan gambaran lengkap tentang di mana produk dan lisensinya dijual.
Namun, pada tahun fiskal 2025, China menyumbang 46% pendapatan Qualcomm, naik dari 37% pada tahun fiskal 2023.
Amon membanggakan dalam panggilan pendapatan bahwa produsen peralatan asli (OEM) Tiongkok yang “terkemuka” – termasuk Xiaomi, Honor, Vivo, dan OnePlus – meluncurkan perangkat unggulan kelas atas di Snapdragon Summit Qualcomm pada September lalu.
Terlepas dari kinerja yang tetap kinclong, Qualcomm kini telah terjebak dalam meningkatnya persoalan geopolitik sebelumnya, seperti ketika pemerintah AS mencabut izin penjualan chip kepada Huawei untuk ponsel pintar pada Mei 2024.
Bulan lalu, China telah meluncurkan investigasi antimonopoli atas akuisisi Autotalks oleh Qualcomm.
Baca Juga: Qualcomm Kuasai 75% Chipset Galaxy S26, Exynos 2600 Cuma 25%
Namun, terlepas dari risiko yang diketahui, masalah ini tidak diangkat dalam panggilan pendapatan terbaru, sehingga memberikan kesan bahwa manajemen dan investor relatif santai tentang hal itu.
Alasan kurangnya tanda bahaya adalah karena ada semacam ketegangan nuklir yang membuat perusahaan relatif aman dari dampak sengketa perdagangan, untuk saat ini.
Menurut Richard Windsor, analis keuangan di Radio Free Mobile, terdapat “risiko besar di China”, tetapi ada faktor-faktor mitigasi penting yang meredakan kekhawatiran atas eksposur Qualcomm ke negara tersebut.
Sebagian besar chip yang dijual Qualcomm ke China digunakan untuk produk yang kemudian diekspor ke luar negeri.
Jika pemerintah China memutuskan untuk melarang atau membatasi komponen Qualcomm, hal itu akan melumpuhkan industri ponsel pintar dan otomotif negara tersebut yang bergantung pada ekspor ke seluruh dunia.
Faktor lainnya adalah jika OEM China menutup akses Qualcomm dan mengganti chipnya dengan alternatif buatan dalam negeri, maka “kemungkinan pembalasan” adalah dengan menolak akses mereka ke TSMC.
“Jika mereka tidak lagi memiliki akses ke TSMC, maka kemampuan mereka untuk membuat chip ponsel pintar yang kompetitif akan berakhir, yang akan sepenuhnya mereorganisasi seluruh industri ponsel pintar di luar China,” kata Windsor.
Lebih lanjut, ia mengatakan produk dan teknologi Qualcomm tidak dianggap sepenting, misalnya, kecerdasan buatan bagi keamanan nasional.
Menargetkan Qualcomm tidak akan berdampak besar pada AS, jadi “tidak banyak modal politik yang bisa diperoleh dengan menghancurkan Qualcomm,” ujarnya.
Terlepas dari ketegangan politik kedua negara, risiko masih ada bagi Qualcomm, tetapi realitas pasar menahannya.
“Saya khawatir, tetapi saya pikir kebuntuan ini akan bertahan untuk saat ini,” pungkas Windsor.
Baca Juga: Qualcomm Bikin Bingung Lagi, Snapdragon 8 Elite Gen 6 Bakal Hadir Dua Varian
Banyak Perusahaan Menjadi Tumbal Meningkatnya Ketegangan AS – China
Menguatnya kinerja Qualcomm meski mengandalkan pasar China, bisa disebut sebagai anomali. Pasalnya, ketegangan politik antara AS – China yang berujung pada perang dagang jilid dua, seiring kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih – telah menimbulkan banyak korban.
Sejumlah perusahaan AS yang sebelumnya mengandalkan pasar negara itu, kini mulai mengurangi eksposur.
Pada September lalu, raksasa komputer AS Dell Technologies melakukan PHK di divisi penyimpanan EMC dan Client Solutions Group di Shanghai dan Xiamen, di provinsi Fujian bagian tenggara.
Keputusan ini menyusul gelombang PHK baru di produsen chip AS Micron Technology, sebagai bagian dari kemunduran global perusahaan dari pasar memori NAND seluler yang lesu.
Sebelumnya pada awal tahun ini, raksasa komputasi AS IBM menutup salah satu entitas domestik utamanya, IBM (China) Investment Co, 32 tahun setelah berdiri.
Keputusan ini menyusul PHK lebih dari 1.000 karyawan tahun lalu di IBM China Development Lab dan China Systems Lab di beberapa kota.
Terbaru, keputusan drastis terpaksa diambil oleh SAS Institute. Pada Kamis (30/10), perusahaan perangkat lunak itu telah menarik diri dari China dan memberhentikan staf lokalnya.
Spesialis analitik tersebut mengakhiri operasinya yang telah berlangsung selama lebih dari dua dekade di tengah persaingan domestik yang ketat dan ketegangan geopolitik.
Di luar perusahaan itu, produsen chips papan atas seperti Intel, Broadcomm, AMD, hingga Nvidia, kini juga tak leluasa berbisnis dengan China.
Para raksasa teknologi itu, telah terjebak dalam sengketa perdagangan yang semakin memanas antara AS dan China selama tiga tahun terakhir.
Hal ini telah menghalangi chip kecerdasan buatan (AI) andalan Nvidia masuk ke pasar krusial dan mengakibatkan kerugian miliaran dolar dalam pendapatan.
Langkah keras China juga bisa dilihat dari larangan beroperasi sejumlah perusahaan asal AS. Pada Maret 2025, China melarang 10 perusahaan terlibat dalam aktivitas impor dan ekspor. Mereka juga dilarang melakukan investasi baru di negara tersebut.
Menurut Kementerian Perdagangan China, ke-10 perusahaan itu adalah TCOM, Limited Partnership, Stick Rudder Enterprises LLC, Teledyne Brown Engineering, Inc, Huntington Ingalls Industries Inc, S3 AeroDefense, Cubic Corporation, TextOre, ACT1 Federal, Exovera, dan Planate Management Group.
Di sisi lain, AS juga tak kalah keras. Sejak November 2020, puluhan perusahaan asal China tak lagi bisa berbisnis dengan AS.
Larangan tersebut berlaku untuk perusahaan China yang dianggap dimiliki serta dikontrol oleh militer China. Di dalamnya dijelaskan, perusahaan-perusahaan tersebut telah memungkinkan modernisasi pada militer China dan secara langsung mengancam keamanaan di Amerika Serikat.
Huawei, ZTE, dan Hikvision merupakan tiga perusahaan dari daftar perusahaan yang dilarang. Beberapa perusahaan lain, seperti China Telecom dan China Mobile, bahkan terdaftar dan sahamnya dijual-belikan di Bursa Saham New York.
Ketegangan politik dan perang dagang juga menyeret TikTok. Hingga kini platform sosial media terbesar di dunia itu, belum memiliki kejelasan atas nasibnya. Rencana akuisisi oleh perusahaan AS, masih tertunda hingga kini.
Baca Juga: Menakar Kekuatan Qualcomm Bersaing di Industri Chip AI yang Kini Dikuasai Nvidia dan AMD































