
PELANGGARAN terhadap kebebasan berkespresi telah beberapa kali terjadi belakangan ini. Terbaru adalah aksi teror berupa pengiriman paket berisi kepala babi dan bangkai tikus kepada redaksi majalah Tempo, dan diiringi dengan pernyataan pemerintah yang cenderung kurang apresiatif terhadap kebebasan pers.
Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers (AKBP) pun menyampaikan keprihatinan atas situasi tersebut. Mereka mengeluarkan petisi publik terkait ancaman kebebasan pers, kebebasan berkespresi dan kebebasan akademik pada Rabu (26/3) secara daring.
Salah yang menginisiasi AKBP, Dr. Senja Yustitia menyampaikan, petisi publik oleh AKBP telah disetujui dan didukung oleh 154 dosen serta guru besar ilmu komunikasi dari seluruh Indonesia.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut menyebutkan beberapa poin yang menjadi perhatian utama. Pertama, kasus teror maupun intimidasi yang ditujukan kepada jurnalis majalah Tempo dapat diprioritaskan ditangani secara menyeluruh melalui proses hukum.
Menurutnya, ini berkaitan dengan keberlangsungan dari kemerdekaan pers yang terancam dengan adanya kasus seperti kekerasan fisik maupun teror yang melibatkan kerja-kerja jurnalistik.
“Hal yang harus diprioritaskan adalah penegakan keadilan dan pemulihan bagi korban. Polisi harus menghentikan praktik impunitas dengan tidak melakukan undue delay. Sebaliknya, supremasi hukum harus dijunjung oleh polisi dengan menegakkan undang-undang pers yang menjamin kebebasan jurnalis untuk mengumpulkan, mengolah dan menyebarluaskan berita,” terang Senja.
Dalam petisi tersebut, AKBP menghimbau kepada Dewan Pers untuk menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan untuk memastikan agar kasus tersebut diusut tuntas oleh polisi. Pelaku intimidasi dapat dijerat dengan hukum pidana melalui Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, pasal 18 ayat 1.
AKBP juga menuntut Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi untuk melakukan permohonan maaf secara terbuka kepada publik. Hasan Nasbi dinilai telah mengeluarkan pernyataan dan komunikasi pemerintah yang buruk dan apatis terhadap ancaman kepada media.
AKBP menilai adanya tendensi sikap dari pemerintah yang meminta media untuk menghadapi intimidasi tanpa perlu pembelaan. Pernyataannya dinilai telah mencederai nurani dan akal sehat publik.
Juru bicara presiden sudah seharusnya memiliki perspektif yang empatik untuk menjamin hak masyarakat yang setara di mata hukum.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Dian Dwi Anisa.menyatakan, AKBP bersama-sama dengan Tempo dan jurnalis dalam melawan represi politik otoritarian. "Ancaman terhadap jurnalis, aktivis sosial dan mahasiswa di seluruh Indonesia sama halnya dengan ancaman terhadap kebebasan akademik yang sejak akhir periode presiden Joko Widodo menjadi sumber berita,” terang dia. (H-2)