
PERHIMPUNAN Pendidikan dan Guru (P2G) menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengeluarkan peraturan mengenai Pencegahan Anak Putus Sekolah. Salah satunya dengan memaksimalkan daya tampung sekolah negeri hingga 50 siswa per kelas.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan, P2G memahami itikad baik Gubernur dalam upaya mengurangi anak putus sekolah di Jabar. Namun niat baik tersebut akan berdampak negatif serta kontraproduktif bagi guru dan siswa, baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial.
"Pertama, jika yang diharapkan Gubernur Jabar adalah 50 anak tiap kelas, ini sangat tidak efektif, akan berpotensi mengganggu proses dan kualitas pembelajaran di kelas," katanya.
"Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja,” ungkapnya dikutip dari keterangan resmi, Rabu (9/7).
Risiko yang Dihadapi
Iman menyatakan beberapa resiko yang akan dihadapi, diantaranya adalah kelas jadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru tidak ada, interaksi murid di kelas sangat terbatas, sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru tidak bisa mengontrol kelas.
Kedua, aturan Gubernur Jabar tersebut jelas bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan belajar bahwa siswa SMA/MA/SMK/MAK maksimal 36 anak saja.
Selain itu menurut Iman, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah.
"Anak putus sekolah di Jawa Barat memang mengkhawatirkan, ada sekitar 658 ribu. Kami menilai, memasukan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," lanjut Iman.
Menurut Iman, sebagai bentuk Layanan Minimal Pendidikan yang sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 32 Tahun 2022, kebijakan pencegahan anak putus sekolah harus berprinsip kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran dan ketepatan sasaran. Misal, melihat kondisi sekolah, ketersediaan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas.
Bukan Soal Daya Tampung
Ketiga, Iman menerangkan bahwa tidak semua anak putus sekolah disebabkan karena tidak tertampung di sekolah negeri. Pemerintah harus memperhatikan anak-anak putus sekolah yang memang punya pilihan lain seperti pernikahan dini, anak berkonflik dengan hukum, menjadi pekerja anak, faktor kemiskinan, dan lainnya.
"P2G kasih usul konkret, agar KDM mempertimbangkan anak putus sekolah untuk dimasukkan ke madrasah negeri dan swasta, ke pendidikan non formal atau sekolah rakyat, yang semuanya juga full dibiayai negara,” ujar Iman.
Iman mencontohkan, jika anak putus sekolah itu termasuk miskin ekstrem desil 1 dan desil 2, bisa dipertimbangkan agar anak tersebut masuk sekolah rakyat yang dikelola oleh Kementerian Sosial. Dengan demikian ada kesinambungan antara program pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Keempat, menurutnya Gubernur Jawa Barat harus mengharmonisasikan kebijakannya dengan kebijakan pendidikan Pemerintah pusat.
"Sangat disayangkan jika kedua program dengan tujuan mulia, berjalan sendiri-sendiri, atau malah tumpang tindih," tegas Iman.
Iman menilai, selama beberapa bulan menjabat banyak kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang tidak bersinergi dengan Kemdikdasmen, seperti mengirim anak nakal ke barak tentara. Sekarang ditambah dengan menampung 50 murid dalam satu kelas di SMA/SMK yang jelas-jelas melawan Permendikbudristek Standar Pengelolaan.
Kelima, pelayanan sekolah dan guru kepada murid akan terbengkalai. Menurut Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim kondisi kelas dan sekolah melebihi kapasitas akan mengganggu kesehatan mental anak dan guru.
Selain itu, anak tersebut belum jelas statusnya sebagai murid dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) karena masuk di luar kuota SPMB/PPDB.
"P2G khawatir murid-murid ini tidak akan dapat ijazah. Bisa dianggap sebagai siswa ilegal di kelas dan tentu merugikan hak-hak dasar anak dalam mendapatkan pendidikan," terang Satriwan.
Nasib Sekolah Swasta
Keenam, sekolah SMA/SMK swasta berpotensi kekurangan murid bahkan bisa bubar jika kebijakan ini diterapkan Gubernur Jabar. Sebab murid akan bertumpuk terkonsentrasi di sekolah negeri. Tentu tidak akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah.
P2G khawatir efek domino bagi sekolah swasta, lama kelamaan mereka bubar, dan para gurunya akan hilang pekerjaan. P2G menerima laporan dari SMA/SMK swasta di Jawa Barat yang mulai merasakan sepinya murid peminat sekolah mereka. Calon murid berkurang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti dialami SMA Bhakti Putra Indonesia di Cisewu Garut Selatan yang hanya menerima 13 calon siswa pendaftar. SMA Pasundan di kota Tasikmalaya hanya menerima 4 calon murid.
“Jangan sampai kebijakan Gubernur Jabar KDM ini 'membunuh' pelan-pelan sekolah swasta, yang selama ini sudah berjuang bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” pungkasnya. (H-3)