MK Tegaskan Pemisahan Pemilu Pusat dan Lokal Tidak Bertentangan dengan UUD 1945

8 hours ago 3
MK Tegaskan Pemisahan Pemilu Pusat dan Lokal Tidak Bertentangan dengan UUD 1945 Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.(MI/Devi Harahap)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal tidak bertentangan dengan konstitusi Pasal 22E UUD 1945 sebab hal itu telah menjadi salah satu pertimbangan yang diuji oleh para hakim MK. 

Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menjelaskan pemisahan Pemilu Pusat dan Lokal tersebut, sejalan dengan keputusan MK sebelumnya No.55/PUU-XVII/2019 yang memuat tentang berbagai macam desain keserentakan pemilu. 

“Dalam putusan No.55/PUU-XVII/2019 tersebut, MK telah menegaskan model keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal,” kata Enny kepada Media Indonesia pada Selasa (1/7). 

Catatan Evaluasi?

Berkaca pada pemilu serentak 2019 dan 2024 yang meninggalkan berbagai catatan evaluasi, MK mengatakan pemisahan pemilu nasional dan lokal penting dilakukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, meningkatkan kualitas demokrasi, serta mengurangi beban berat bagi penyelenggara pemilu dan partai politik

“Dengan melihat praktik penyelenggaraan pemilu dan Pilkada yang berlangsung 2019 dan 2024, maka sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional,” ungkap Enny.

Mengubah Jadwal?

MK juga menekankan pemisahan pemilu ini tidak akan mengubah jadwal pemilu lima tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, tetapi lebih kepada pengaturan jadwal pelaksanaan pemilu yang tidak dilakukan secara serentak.  

“Dalam kajian ini, tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 22E UUD NRI 1945 terkait pemilu setiap 5 tahun sekali karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan ‘constitutional engineering’ terkait dengan peralihannya,” tukas Enny. 

Harus Ditindaklanjuti?

Lebih jauh, Enny menuturkan putusan MK harus ditindaklanjuti oleh DPR. Di lain sisi, putusan tersebut memuat rekayasa konstitusi atau (constitutional engineering) sebagai sebagai petunjuk bagi DPR agar proses legislasi yang dibuat untuk menindaklanjuti putusan MK di masa transisi, tidak keluar dari kerangka yang sudah diputuskan. 

“Sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak. Constitutional engineering dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi,” pungkasnya. 

Putusan MK?

Sebelumnya, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat (Rerie) menyebut putusan MK yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal mulai 2029 merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.

Ia mengatakan pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota melanggar UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. 

Pelaksanaan Pemilu?

Ia mengatakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. 

“Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata Rerie pada Senin (30/6).

Salahi Konstitusi?

Hal serupa juga diungkapkan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan. Ia menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Dia menyebut bahwa putusan MK itu menyalahi aturan UUD 1945.

“Putusan MK itu salah. Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 secara tekstual dan eksplisit menentukan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan salah satunya adalah untuk memilih anggota DPRD,” kata Irawan dalam keterangannya, hari ini.

Dianggap Salah?

Menurut Irawan, putusan MK yang dianggap salah memang seharusnya dikritik meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, kritik terhadap putusan yang dianggap keliru merupakan bagian dalam sistem hukum. 

“Kita tidak bisa lagi basa-basi bahwa putusan MK final dan binding yang harus kita hormati dan laksanakan,” ucapnya. (Dev/P-3) 

Read Entire Article
Global Food