
MAHKAMAH Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan mengurangi hukuman mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyebut permohonan PK seharusnya tidak ada yang mengurangi masa hukuman.
“Saya kecewa dengan dikabulkannya PK Setya Novanto, dan itu rasanya mencederai keadilan. Kalau memang hukumannya berapa ya cukup di level kasasi, PK harusnya ditolak, tidak ada PK itu mengurangi hukuman, itu tidak ada,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Media Indonesia pada Kamis (3/7).
Menurut Bonyamin, secara konsep jika PK dikabulkan, seharusnya Setya Novanto justru tidak berlaku untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan, namun hanya bisa ditolak atau bebas dari jeratan hukum. Dia juga sangat menyayangkan putusan yang dijatuhkan MA tersebut.
“Dalam konsep ideologisnya itu tidak ada, PK itu hanya mengabulkan dan menolak. Kalau kabul berarti bebas, artinya novum itu mementahkan putusan-putusan sebelumnya sehingga putusannya bebas kalau dikabulkan, kalau ditolak artinya tidak ada cerita mengurangi hukuman,” ungkapnya.
Boyamin menilai bahwa putusan MA tersebut telah mencerminkan bahwa peradilan di Indonesia masih tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Ia juga menyebut para hakim tidak bisa menjadi teladan yang baik dalam penegakan hukum.
“Jadi menurut saya Mahkamah Agung semakin membuktikan dirinya bukan teladan yang baik. Kalau teladan yang baik ditolak karena ideologisnya begitu, dan ini mestinya bagian dari pemberantasan korupsi MA harus lebih keras,” tegasnya.
Selain itu, Boyamin berharap MA dapat mengembalikan marwah para hakim dengan melakukan perubahan seperti saat era pimpinan Artidjo Alkostar.
“Kalau zaman Pak Artidjo itu malah nambah-nambah malah, ini kok malah mengurangi, ini kan kontradiktif dengan zaman dulu. Ini menjadikan masyarakat semakin apatis bahwa korupsi apa bisa diberantas,” tukasnya.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan PK Setya Novanto dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP. Vonis Setya Novanto disunat dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun penjara.
“Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan,” demikian tertulis dalam putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 seperti dilihat di situs resmi MA, Rabu (2/7).
Novanto juga dihukum membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti (UP) USD 7,3 juta. Uang pengganti itu dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke penyidik KPK.
“UP USD 7.300.000 dikompensasi sebesar Rp5.000.000.000 yang telah dititipkan oleh terpidana kepada Penyidik KPK dan yang telah disetorkan Terpidana, sisa UP Rp 49.052.289.803 subsider 2 tahun penjara,” ujar hakim.
Novanto juga dijatuhi hukuman pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah masa pidana selesai. Putusan tersebut diketok oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025.
“Pidana tambahan mencabut hak terpidana untuk menduduki dalam jabatan publik selama 2 tahun dan 6 bulan terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” demikian putusan tersebut. (H-3)