
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meluncurkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang layak sebagai pedoman bagi pemerintah dalam upaya perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI, Putu Elvina saat peluncuran di Kantor Komnas HAM RI, mengatakan peluncuran SNP ini merupakan langkah penting dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi masyarakat adat.
“Dalam prakteknya, masyarakat adat masih menjadi kelompok yang paling rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia seperti penggusuran, perampasan wilayah adat, kriminalisasi serta perampasan hak atas tanah, pendidikan, kesehatan dan identitas budaya. Realitas ini menunjukkan adanya curang atau gap antara pengakuan formal,” kata Elvina pada Kamis (10/6).
Landasan Kuat?
Elvina mengutarakan SNP ini dapat menjadi landasan bagi penegakan hukum dan kebijakan yang lebih baik terkait masyarakat adat. Menurutnya, seringkali kebijakan pemerintah atau proyek pembangunan tidak mempertimbangkan hak-hak tradisional dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.
“Regulasi yang selama ini tersebar di berbagai undang-undang maupun peraturan yang ada di Indonesia dan belum tentu kemudian kami lihat bahwa ini akan bermuara kepada upaya menjamin perlindungan efektif bagi masyarakat adat,” jelasnya.
Prinsip HAM?
SNP ini juga sebagai upaya untuk menerjemahkan prinsip-prinsip HAM baik internasional ke dalam konteks nasional serta memberikan pendorongan normatif dan praktis bagi negara atau non-negara, masyarakat sipil dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh.
“Jadi kalau kita ketemu dengan kelompok-kelompok masyarakat adat, maka hal penting yang mereka keluhkan selain dengan upaya pemenuhan dan perlindungan atas hak-hak mereka, adalah pengakuan negara terkait keberadaan masyarakat adat serta entitas lainnya yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat,” ucapnya.
Libatkan Masyarakat?
Selain itu, Elvina menuturkan penyusunan SNP tersebut dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak dan kepentingan seperti lembaga negara, kementerian, organisasi masyarakat sipil, akademisi hingga berbagai masyarakat adat.
“Hal ini sebagai komitmen Komnas HAM untuk menjadikan SNP ini sebagai dokumen yang inklusif, partisipatif, aplikatif, dan mampu menjawab realitas kompleks yang dihadapi masyarakat adat hari ini,” jelasnya.
Acuan Dasar?
Komnas HAM berharap dokumen ini dapat digunakan secara luas oleh para pembuat kebijakan, lembaga legislatif, aparat penegak hukum, pemerintah daerah korporasi, serta masyarakat sipil sebagai acuan dasar bila bersentuhan dengan unsur masyarakat adat.
“Komnas HAM menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak masyarakat adat bukan hanya sekedar persoalan moral tetapi kewajiban hukum yang mengikat negara dan seluruh aktor pembangunan. Tanpa pengakuan penuh dan pemulihan hak-hak kolektif masyarakat adat tidak mungkin tercipta keadilan sosial yang sejati di Indonesia,” imbuhnya.
Sesuaikan Regulasi?
Untuk itu, pemerintah daerah juga didorong agar dapat menyusun dan menyesuaikan regulasi daerah maupun nasional yang selaras dengan prinsip-prinsip HAM dan kebutuhan masyarakat adat.
“Mendorong mekanisme pemulihan hak atas tanah, sumber daya alam dan identitas budaya, serta menjamin partisipasi penuh masyarakat adat dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka yang pada akhirnya, harapan kita adalah dapat menunjukkan keadilan sosial dan kesetaraan hak secara substantif bagi masyarakat adat,” pungkasnya. (Dev/P-3)