Kemen HAM: Skema Kemitraan Ojol tak Bisa Dipertahankan, Berpotensi Langgar HAM

7 hours ago 2
 Skema Kemitraan Ojol tak Bisa Dipertahankan, Berpotensi Langgar HAM Ribuan pengemudi ojek daring (ojol) dan taksi online berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta(MI/Usman Iskandar)

KEMENTERIAN Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan aplikator dan pengemudi ojek online (ojol) saat ini sudah tidak layak untuk dipertahankan. 

Hal itu diungkap, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia, Munafrizal Manan dalam laporan ringkas tindak lanjut penanganan pengaduan HAM atas permasalahan ojek online.

Ia menyebut, jika model kemitraan seperti saat ini terus berlangsung, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang disengaja.

“Jika model ini tetap dipertahankan tanpa koreksi, itu menunjukkan itikad buruk. Ini bukan lagi sekadar praktik bisnis, tapi bentuk pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis,” ujarnya dalam keterangan dikutip Selasa (1/7).

Temuan tersebut merupakan hasil tindak lanjut dari penanganan berbagai pengaduan publik yang masuk ke Kemen HAM terkait kondisi kerja pengemudi ojol.

Ada beberapa poin kesimpulan dalam tindak laporan tersebut, menurutnya belum adanya regulasi yang tegas dan komprehensif yang mampu mengatur tata kelola bisnis aplikasi transportasi online yang berbasis hak asasi manusia. 

Adapun situasi ini memperkuat dominasi perusahaan aplikator dalam sistem, dengan pemerintah nyaris tidak bisa melakukan intervensi.

“Peran regulator terkunci. Sistem dibuat sepenuhnya oleh aplikator, dari hulu hingga hilir. Negara seperti kehilangan kendali,” ungkapnya.

Ia menegaskan, regulasi yang ada saat ini justru memberi celah hukum bagi aplikator untuk menerapkan hubungan kerja yang menempatkan mereka dalam posisi superior. 

"Akibatnya, posisi tawar pengemudi sangat lemah dan terpaksa menerima skema sepihak dari perusahaan," jelasnya. 

Kondisi Kerja tidak Manusiawi dan Imbalance Power

Kementerian HAM menilai relasi antara pengemudi dan perusahaan aplikator tidak mencerminkan kemitraan yang sejajar, melainkan hubungan subordinatif. 

“Hubungan ini tidak genuine. Posisi aplikator sangat dominan, sedangkan pengemudi inferior dan terkondisikan untuk tunduk,” kata Munafrizal. 

Lebih lanjut, penggunaan istilah 'mitra' dianggap sebagai perisai untuk menghindari tanggung jawab hukum perusahaan terhadap pengemudi. 

Padahal, dalam praktiknya, aplikator tetap mengatur jam kerja, skema tarif, hingga pembagian komisi.

Sebagai jalan keluar, Kemen HAM merekomendasikan adanya pemisahan status kerja, yakni pengemudi ojol paruh waktu tetap dapat dikategorikan sebagai mitra, sementara pengemudi penuh waktu harus diakui sebagai pekerja dengan hak-hak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.

"Model kerja yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan dinilai sebagai solusi jangka panjang untuk mendukung pembangunan ekonomi digital yang tetap menghormati HAM," pungkasnya. (Far/M-3)

Read Entire Article
Global Food