
DALAM sistem hukum ekonomi Indonesia, kurator dan pengurus memainkan peran vital dalam menangani perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Mereka bertugas mengelola harta debitur dan menjembatani kepentingan kreditur berdasarkan mandat pengadilan. Ironisnya, tak sedikit dari mereka justru menghadapi risiko hukum pribadi akibat menjalankan tugas tersebut.
Isu ini menjadi perhatian serius Martin Patrick Nagel, bakal calon Ketua Umum AKPI periode 2025-2028, bersama Harvardy Muhammad Iqbal (Vardy), bakal calon Sekretaris Jenderal. Bagi keduanya, perlindungan hukum bukan sekadar wacana, melainkan agenda prioritas yang harus dihadirkan secara nyata dalam tubuh organisasi. Kerentanan ini mencerminkan adanya kekosongan sistemik dalam perlindungan terhadap profesi kurator dan pengurus di Indonesia.
“Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kurator dan pengurus yang dilaporkan atau bahkan dikriminalisasi karena melaksanakan tugasnya secara profesional. Bahkan dalam beberapa kasus, bantuan hukum justru datang dari organisasi advokat. Ini memperlihatkan pentingnya untuk menyeriusi peran AKPI yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi anggotanya,” ujar Martin.
Sebagai contoh, pada 2021, tiga kurator yang ditunjuk pengadilan dalam proses PKPU sempat dilaporkan secara pidana atas dugaan penggelembungan piutang, menyusul kenaikan nilai tagihan kreditur dari Rp172 miliar menjadi lebih dari Rp400 miliar akibat akumulasi bunga dan denda sejak 2013. Seluruh proses verifikasi saat itu telah dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun, debitur memilih melapor ke kepolisian, yang kemudian berujung pada penetapan tersangka dan penjemputan paksa dua kurator.
KERENTANAN HUKUM
Kasus ini menunjukkan kerentanan hukum yang dapat menimpa kurator maupun pengurus, bahkan saat mereka menjalankan tugas sesuai mandat pengadilan. Dalam konteks inilah kehadiran AKPI menjadi krusial, bukan untuk membebaskan dari tanggung jawab hukum, melainkan untuk memastikan setiap anggota didampingi secara profesional dalam menjalani proses hukum yang adil.
Pendampingan semacam ini penting agar anggota tidak merasa sendirian dan tetap dapat menjalankan tugasnya secara profesional tanpa rasa takut yang berlebihan terhadap risiko kriminalisasi.
Belajar dari pengalaman tersebut, Vardy menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi seluruh anggota AKPI akan menjadi prioritas utama dalam visi kepemimpinannya.
“Penguatan dan penerapan perlindungan terpadu bagi para anggota merupakan concern kami, artinya, perlindungan hukum ini jangan hanya sebagai retorika saja, tetapi benar benar dibuatkan teknisnya, dimana nanti akan ada penanggung jawab dengan tugas menjaga di garis depan apabila ada laporan-laporan terhadap anggota kita, sehingga anggota bisa menjalankan tugas profesional mereka,” sebut Vardy.
SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM
Martin kembali menggarisbawahi perlunya pembentukan sistem perlindungan hukum yang terstruktur dan proaktif, yang dapat diakses seluruh anggota secara adil dan responsif. Untuk itu, dirinya akan menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perlindungan Anggota, sebagai acuan organisasi dalam memberikan respons cepat dan strategis jika anggota menghadapi persoalan hukum.
Adapun SOP ini akan dilengkapi dengan penunjukan PIC bantuan hukum, alur koordinasi langsung PIC wilayah dengan pengurus pusat, pengalokasian anggaran khusus untuk mendukung layanan bantuan hukum, dan pengembangan aplikasi digital yang dapat diunduh dan diakses oleh seluruh anggota, dengan fasilitas layanan bantuan hukum 24 jam untuk situasi darurat seperti kriminalisasi.
“Kalau kita ingin AKPI menjadi rumah besar yang melindungi anggotanya, perlindungan hukum harus hadir dalam bentuk nyata melalui sistem yang terstruktur, respon cepat, dan layanan bantuan hukum yang benar-benar bisa diandalkan anggota kapanpun dibutuhkan. Ini bukan hanya soal advokasi, tapi juga tentang membangun kepercayaan dan legitimasi profesi dalam sistem hukum kita,” pungkas Martin. (E-2)