Ilustrasi(Freepik)
KASUS dugaan bunuh diri mahasiswa yang kembali mencuat di Indonesia menggugah kesadaran publik akan pentingnya kesehatan mental di lingkungan pendidikan tinggi.
Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Yulina Eva Riany, menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan persoalan multidimensional yang tidak bisa dipandang sebagai masalah individu semata.
"Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh tekanan sosial, psikologis, dan struktural yang saling berkaitan," ujar Yulina.
Menurutnya, tekanan akademik, tuntutan berprestasi, dan rasa gagal sering memicu stres kronis. Tanpa dukungan sosial memadai, hal tersebut bisa berkembang menjadi depresi atau keputusasaan.
MI/HO--Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Yulina Eva Riany
Banyak mahasiswa menghadapi quarter-life crisis, yaitu masa pencarian jati diri dan kemandirian yang sering kali berbenturan dengan harapan keluarga atau realitas hidup.
"Kesepian, perundungan, serta tekanan sosial di media digital semakin memperburuk situasi," jelasnya.
Selain faktor individu, Dr Yulina menilai pentingnya ekosistem sosial kampus dan keluarga.
"Kampus harus menjadi ruang aman dan empatik, bukan hanya tempat belajar," katanya.
Terkait layanan kesehatan mental, ia menilai sebagian besar perguruan tinggi, termasuk IPB University, telah menunjukkan kemajuan dengan menyediakan unit layanan konseling dan program promotif.
Namun, tantangannya adalah aksesibilitas tenaga profesional, efektivitas sistem rujukan, dan stigma sosial.
"Masih ada mahasiswa yang enggan mencari bantuan karena takut distigma atau khawatir privasinya bocor," ungkapnya.
Karena itu, ia menegaskan, kampus harus mendorong mahasiswa untuk berani mencari bantuan dan menghapus stigma bahwa meminta pertolongan adalah kelemahan.
Untuk mencegah kasus serupa, Yulina mendorong kampus membangun sistem perlindungan menyeluruh. Evaluasi empiris melalui data pengguna layanan dan tingkat kepuasan misalnya, perlu dilakukan agar sistem dukungan kampus semakin kuat.
Ia menekankan empat pilar penting, yaitu kebijakan antibullying yang tegas, peningkatan kapasitas layanan konseling, pencegahan berbasis komunitas, dan penguatan peran organisasi mahasiswa.
"Kampus harus punya mekanisme pelaporan yang aman dan anonim, serta melatih dosen dan mahasiswa menjadi gatekeeper bagi teman-temannya yang rentan," ujarnya.
Ia juga menyarankan agar layanan konseling diperluas ke format daring dan terhubung dengan lembaga eksternal seperti rumah sakit atau klinik psikologi.
Selain itu, nilai empati perlu ditanamkan sejak mahasiswa baru melalui program orientasi, kegiatan gotong royong, mentoring, serta ruang aman untuk berbagi cerita.
"Budaya empati tidak bisa tumbuh instan. Ia lahir dari keteladanan pimpinan, konsistensi sistem, dan ruang sosial yang manusiawi," pungkasnya. (Z-1)

3 hours ago
1
















































