APBN bukan Penawar Utang Kereta Cepat

4 hours ago 1
APBN bukan Penawar Utang Kereta Cepat Hamdani, Dosen Program Doktor Ilmu Akuntansi FEB Univ. Andalas Padang, Pakar Keuangan Negara dan Daerah(dok Pribadi)

PENEGASAN Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tidak menggunakan APBN untuk menalangi utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) bukan sekadar urusan fiskal. Sikapnya ini memberikan batas tegas antara keuangan negara dan keuangan korporasi. Pernyataannya tidak memakai APBN sebagai penawar utang proyek KCJB patut diapresiasi.

Pelajaran berharga dari menkeu koboi ini menandai perubahan paradigma politik anggaran, bahwa utang yang lahir dari keputusan bisnis harus diselesaikan dengan instrumen bisnis, bukan dengan kas negara. Konsistensi itu patut dijaga agar disiplin anggaran ditegakkan, moral hazard dicegah, dan kepercayaan publik terhadap tatakelola fiskal tetap terjaga.

Intervensi fiskal terhadap suatu proyek harus datang dari hulu bukannya muncul tiba-tiba di hilir karena salah kalkulasi. Proyek KCJB digarap oleh konsorsium BUMN yang berhimpun dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), berpatungan dengan mitra luar negeri Beijing Yawan High-Speed Rail (HSR) Co. Ltd. untuk membentuk PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Di dalam ekosistem ini, ada pula Badan Pengelola Investasi (Danantara Indonesia), sebuah lembaga pengelola investasi negara yang dirancang memisahkan kekayaan korporasi dari keuangan negara.

Sejak awal, proyek ini dipromosikan tidak akan membebani APBN. Skema pendanaan yang dipilih adalah business-to-business kemitraan antar-badan usaha —dengan penekanan risiko utama ada pada pelaku usaha. Dalam perjalanan, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) serta perubahan desain dan jadwal. 

Celah regulasi kemudian dibuka melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tertentu sehingga ruang penjaminan pemerintah dan injeksi permodalan kian longgar. Tak lama, Penyertaan Modal Negara (PMN) masuk ke salah satu anggota konsorsium untuk memperkuat ekuitas.

Jebakan utang KCIC

Dari sudut keadilan fiskal, praktik memindahkan risiko kerugian usaha ke punggung pembayar pajak jelas masalah. Ketika korporasi menikmati keuntungan, dividen disetor sebagai pendapatan nonpajak negara tetapi ketika rugi mengapa kas APBN dipanggil sebagai penolong? Ini menciptakan insentif keliru: pelaku usaha terdorong mengambil risiko berlebih karena mengira negara akan selalu hadir sebagai penjamin terakhir (lender of last resort). Dalam literatur kebijakan publik, itulah inti moral hazard yang harus dihindari.

Polemik mengenai beban APBN untuk KCJB mengemuka sejak Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 antara lain mengatur penggunaan APBN untuk KCJB yang melenceng dari komitmen semula. Jokowi terpaksa menggerogoti APBN mewujudkan proyek mercusuarnya untuk menutupi kewajiban konsorsium yang timbul akibat pembengkakan biaya (cost overrun).

Sri Muliani alih-alih menjadi benteng penjaga APBN malahan mendukung ambisi Jokowi dengan menerbitnya PMK Nomor 89/2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. 

Skema penjaminan utang kereta cepat tersebut menyebabkan APBN kita masuk dalam jebakan utang China. Padahal, kalau dari awal kebijakan penjaminan itu dipilih, proposal dari Jepang yang mensyaratkan penjaminan tersebut justru dinilai lebih menguntungkan Indonesia.

Ada beberapa pertimbangan sebagai solusi terbaik mengatasi krisis finansial  KCJB untuk menjaga kemanfaatan proyek ini. Pertama, Danantara dan perusahaan anggota konsorsium dapat mengandalkan dividen, arus kas operasi, restrukturisasi pinjaman, atau aksi korporasi lain sesuai hukum untuk memenuhi kewajiban kepada kreditur seperti China Development Bank (CDB) sehingga APBN tidak perlu masuk sebagai penolong.

Kedua, audit kinerja dan audit forensik harus dilakukan terhadap pembengkakan biaya dan perubahan desain yang terjadi. Audit kinerja mengevaluasi efisiensi, efektivitas, dan ekonomisnya pelaksanaan proyek. Audit forensik melacak indikasi penyimpangan, konflik kepentingan, atau pelanggaran integritas. Rekomendasi audit perlu diikuti sanksi dan perbaikan sistemik, agar efek jera terbentuk dan kualitas pengambilan keputusan investasi meningkat di seluruh ekosistem proyek infrastruktur strategis nasional.

Ketiga, kebijakan pelunakan regulasi yang membuka peluang menggunakan APBN untuk merespons masalah komersial harus dihentikan. DPR perlu menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan aktif untuk memastikan tidak ada pasal-pasal yang menjelma sebagai jalan pintas memindahkan risiko korporasi ke fiskal publik.

Keempat, perbaiki desain bisnis proyek dengan mengintegrasikan layanan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI —dengan pengaturan jadwal, tarif, dan konektivitas— dapat meningkatkan okupansi. Pengembangan kawasan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD) di sekitar stasiun harus dipercepat agar menghasilkan pendapatan non-tiket.

Politik anggaran utang KCJB

Sebelum Purbaya memutus rantai yang membelenggu APBN untuk mendanai KCJB, skenario beban APBN untuk kereta cepat ini sudah terjadi sebelumnya dalam skema pembiayaan APBN berupa penyertaan modal Negara (PMN) kepada KT KAI sebesar Rp3,2 triliun sebagai setoran modal kepada PT PSBI. PMN tersebut digunakan untuk pemenuhan kewajiban setoran modal konsorsium BUMN, dan pelunasan kewajiban utang PT KAI dari China Development Bank disetujui DPR pada November 2022.

Kerangka hukum Indonesia memberi pagar tegas. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menempatkan APBN sebagai instrumen untuk mendanai mandat konstitusional —pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial— serta fungsi-fungsi pelayanan publik, pertahanan dan keamanan, serta hubungan keuangan pusat daerah.

Di titik ini perlu ditegaskan perbedaan risiko kebijakan dengan risiko komersial. Risiko kebijakan —seperti perubahan peraturan yang mempengaruhi kelayakan proyek— dapat menjadi alasan sah bagi keterlibatan negara secara terbatas. Namun, risiko komersial —biaya konstruksi, proyeksi permintaan penumpang, atau efisiensi operasi—adalah domain pelaku usaha. 

Dalam skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), penjaminan pemerintah idealnya ditujukan untuk risiko kebijakan yang tidak dapat dikelola pasar bukan untuk menanggung akibat dari keputusan bisnis yang agresif.

Dari perspektif komunikasi publik, pemerintah perlu menjelaskan dengan jernih mengapa pilihan tanpa APBN bukan sikap anti-pembangunan. Justru sebaliknya: menjaga disiplin fiskal adalah syarat utama agar ruang fiskal tetap kuat untuk membiayai prioritas yang berdampak luas —pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur dasar—seraya memastikan proyek-proyek strategis tetap jalan melalui skema korporasi yang sehat. Ketegasan garis batas ini akan memulihkan kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap kepastian aturan main.

Pelajaran yang lebih besar adalah, penyempurnaan tata kelola proyek strategis nasional ke depan. Kriteria pemilihan proyek harus makin ketat, penilaian kelayakan finansial dan sosial-ekonomi mesti independen, dan kontrak perlu memuat mekanisme bagi hasil dan penanggungan risiko proporsional sejak awal. 

Untuk skema KPBU, peran lembaga penjamin sebaiknya dibatasi pada risiko kebijakan yang tidak bisa dikelola pasar; selebihnya, disiplin komersial harus kembali menjadi raja.

APBN harus dibelanjakan secara tertib, ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Proyek KCJB sejak awal dikomunikasikan sebagai proyek business-to-business. Oleh karena itu, segala konsekuensi bisnis wajib dituntaskan di arena korporasi. 

Ketegasan ini bukan hanya menyelamatkan fiskal dari beban yang tidak semestinya, melainkan juga mendorong lahirnya budaya investasi yang sehat —budaya yang berani mengambil risiko tetapi juga berani bertanggung jawab pada keputusan yang diambil. Kesimpulannya, disiplin fiskal yang tegas menjaga keadilan, mendorong efektivitas, memulihkan kepercayaan, dan  meneguhkan pembangunan berkelanjutan.

Read Entire Article
Global Food