Ahli Sebut UU TNI tak Penuhi Syarat Carry Over dan Lemah Kepastian Hukum

8 hours ago 2
Ahli Sebut UU TNI tak Penuhi Syarat Carry Over dan Lemah Kepastian Hukum Ilustrasi.(MI/Devi Harahap)

AHLI dari Pemohon sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Mohammad Novrizal mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.  

Hal tersebut disampaikan Novrizal sebagai Ahli dalam sidang lanjutan gugatan UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyoroti pernyataan DPR dalam sidang sebelumnya yang menyebut pembahasan revisi UU TNI menggunakan mekanisme carry over.

“Dalam sidang (terkait UU TNI di MK) mendengar keterangan DPR dan Presiden pada tanggal 23 Juni yang lalu perwakilan DPR menyatakan bahwa Undang-Undang TNI perubahan menggunakan mekanisme carry over dalam proses pembahasannya sehingga pembentukannya tidak perlu mengulangi lagi proses dari awal, begitu kata DPR,” kata Novrizal di ruang sidang Pleno MK pada Selasa (1/7). 

Aturan Main?

Novrizal menjelaskan secara umum, sebuah RUU masuk dalam mekanisme carry over jika terjadi pemindahan pembahasan RUU yang sudah berjalan dari satu periode keanggotaan DPR ke periode berikutnya sesuai pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). 

“Mekanisme carry over tidak cukup cuma berdasarkan kesepakatan politik antara DPR dan presiden. Salah satu syarat penting lainnya adalah RUU tersebut telah memasuki tahap pembahasan tingkat I, yakni pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), pada periode keanggotaan DPR sebelumnya,” ucapnya. 

Nihil Bukti?

Selain itu, Novrizal mengatakan, pernyataan DPR tersebut tidak didasari bukti konkret. Hal itu bisa dilihat dalam putusan DPR Nomor 64/DPR/I/2024-2025, di mana pada dokumen tersebut RUU TNI perubahan tidak dikategorikan menggunakan mekanisme carry over.

“Berdasarkan dokumen yang saya telaah tidak ditemukan bukti bahwa UU TNI ini pernah masuk dalam pembahasan DIM pada anggota periode sebelumnya. Bahkan, pada keputusan DPR, RUU ini tidak tercantum sebagai bagian dari carryover,” ucapnya. 

Ada Rujukan?

Novrizal juga menekankan bahwa tidak ada pula pembaruan SK DPR untuk menerangkan bahwa RUU TNI perubahan menggunakan mekanisme carry over, meskipun RUU lain yang menggunakan mekanisme carry over seperti RUU narkotika dan psikotropika jelas tercantum dengan jelas sebagai RUU carry over. 

Novrizal juga merujuk pada pada Keputusan DPR Nomor 19/DPR/III/2018–2019 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2019 serta Keputusan DPR Nomor 10/DPR/II/2023–2024 tentang Perubahan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2023. Ia menekankan bahwa kedua putusan itu tidak tercantum RUU TNI telah dibahas sampai tahap DIM.

“Dengan demikian RUU TNI perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya,” tegasnya.

Penuhi Syarat?

Atas dasar itu, Noverizal menilai RUU TNI Perubahan yang belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelumnya, tidak memenuhi kualifikasi syarat untuk menggunakan mekanisme carryover 

“Akibatnya, UU TNI yang sedang berlaku sekarang ini proses pembuatannya dianggap tidak memenuhi prosedur. Selain itu, proses pembentukan dan perencanaan UU TNI dapat dinilai tidak konstitusional,” tukasnya. 

Pertanyakan Ahli?

Sementara itu, Hakim Arsul Sani mengatakan bahwa ada kekosongan hukum terkait mekanisme carryover dalam UU PPP. Ia pun mempertanyakan ahli mengenai konstitusionalitas pembahasan RUU TNI yang diserahkan dari DPR periode 2014-2019 kepada DPR periode 2024-4029.

“Apakah sebuah mekanisme yang tidak spesifik diatur dalam undang-undang PPP menjadi tidak boleh dilakukan, ketika kemudian pembentuk undang-undang yaitu DPR dan presiden sepakat untuk menyetujui suatu undang-undang TNI?,” tanya Arsul. 

Kekosongan Hukum?

Merespons hal tersebut, Novrizal menyebut bahwa DPR seharusnya mampu mengelola tata terbit (tatib) dalam UU PPP untuk meminimalisir adanya kekosongan hukum. Terlebih lagi, lanjutnya, DPR sudah sering merevisi tatib. 

“DPR itu sebetulnya sudah tau apa yang harus dilakukan dalam pembuatan suatu undang-undang. Jadi seharusnya DPR kalau memang merasa kurang aturan main dalam tatib itu, harusnya dilengkapi. Beberapa kali juga tatib bisa diubah ubah dan diperbaharui maka seharusnya perbaiki aturan main itu agar masyarakat tidak diprotes,” ungkapnya. (Dev/P-3) 

Read Entire Article
Global Food