
PENELITI Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal mengungkapkan masalah teknis di tempat pemungutan suara (TPS) dan kinerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang belum mahir, menjadi penyebab utama dari adanya 7 pemilihan suara ulang (PSU) Pilkada yang kembali digugat kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
“Berbagai petugas Pilkada di lapangan yang ada di daerah itu masih menilai bahwa proses pelaksanaan PSU masih bermasalah. Sehingga, mereka mencoba untuk kembali menggugat hasilnya ke Mahkamah Konstitusi,” katanya kepada Media Indonesia pada Kamis (17/4).
Haykal menuturkan, penyelenggara pemilu perlu diingatkan bahwa mereka mengemban tanggung jawab besar untuk memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung jujur dan adil.
“Dari jumlah yang sekarang sudah mendaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, sebanyak tujuh permohonan tersebut menunjukkan sinyal bahwa memang masih ada permasalahan yang terjadi, sehingga muncul ketidakpuasan yang dirasakan oleh salah satu atau berbagai pihak yang ikut berlaga di dalam PSU,” ungkapnya.
Selain itu, Haykal menekankan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan hingga kecurangan yang terjadi pada PSU selanjutnya, KPU RI diminta harus memperkuat sistem pengawasan dan pemantauan.
“Jadi memang secara spesifik di berbagai daerah tentu perlu ada pemantauan. Kita perlu melihat lebih detail bagaimana kemudian PSU ini dilaksanakan, karena jujur saja pelaksanaan PSU yang berdekatan dengan bulan puasa dan momen Hari Raya Idul Fitri kemarin menyebabkan tidak cukup banyak mata yang bisa menyorot proses pelaksanaannya,” tukasnya.
Haykal juga menjelaskan bahwa gugatan yang dilayangkan belum bisa menjadi dasar untuk menilai apakah suatu PSU terbukti melanggar atau tidak, sampai adanya proses pengadilan di MK.
“Untuk memvonis apakah kemudian memang terjadi jumlah permasalahan yang terduplikasi atau terulang kembali, perlu menunggu bagaimana proses/proses persidangan nanti di MK, ketika kemudian hasil dari PSU ini diterima untuk disidangkan di Mahkamah Konstitusi,” tuturnya.
Berkaitan dengan ambang batas selisih untuk pengajuan permohonan ke MK, Haykal menilai bahwa selama ini implementasinya sudah cukup jelas.
“Saya rasa MK selama ini cukup tegas untuk mengaplikasikan pasal tersebut. MK tidak sembarangan artinya memiliki tolak ukuran yang jelas untuk kemudian menerapkan penundaan ambang batas selisih tersebut,” imbuh Haykal.
Kendati demikian, dalam menerima proses gugatan, MK tidak hanya melihat sebatas melihat persyaratan formal, namun juga mempertimbangkan implikasi dari gugatan PSU terhadap hasil dan keterpenuhan hak pemilih dari penggugat.
“Sehingga, kalau kemudian gugatan ini terus bertambah dan PSU-nya terjadi berulang-ulang selama untuk memastikan berjalannya prinsip-prinsip pelaksanaan pemilu di dalam Pilkada ini, saya rasa itu tidak menjadi suatu masalah,” ujarnya. (H-3)